Selasa, 26 Agustus 2008

Paham Liberal : Menjual Islam demi Dolar

Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA , Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam

Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Untuk menangkal paham liberal, umat Islam harus mampu melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim.

Adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo yang lantang mengemukakan hal ini. Peraih gelar doktor bidang fiqih dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini, tanpa beban, menyatakan ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar, itu kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme.

Setelah laporan dari wartawan-wartawan Sabili yang ditugasi mewawancarai sejumlah narasumber terkait paham liberal, masuk ke meja redaksi. Sejumlah fakta dan data dari nara sumber terkait soal dana menjadi jawaban kenapa para pengusung paham liberal acap kali melontarkan pemikiran-pemikiran nyeleneh.

Menurut penerima penghargaan atas prestasi kepemimpinan dan manajemen peningkatan peranan wanita dari menteri negara peranan wanita RI tahun 1999 ini, tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka.

Berdasar pengamatan mantan anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, selama ini di lapangan, dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung pemikiran liberal. “Kalau tidak dari bantuan asing, darimana mereka mencetak buku-buku karyanya,” tandas ibu satu putra yang bernama Syarif Hidayatullah ini.

Lain Prof Huzaemah, lain pula Ketua KISDI Adian Husaini. Cendekiawan Muslim yang baru saja meraih gelar doktor di salah satu universitas di Malaysia ini mengakui, umat Islam kadang terlambat merespon munculnya paham liberal karena kaum Muslimin menganggap pemikiran dan kajian ilmiah tidak lebih penting dari politik, ekonomi dan lainnya.

“Politik, ekonomi dan lainnya penting, tapi ilmu lebih penting sebab ilmu adalah landasan tegaknya iman. Jika ilmu rusak, akan lahir ulama rusak yang lebih bahaya daripada orang kafir yang rusak,” tandasnya.

Soal menjamurnya paham liberal, Adian mempunyai pandangan sendiri. Menurut Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, paham bebas yang cenderung kebablasan ini akan terus muncul sepanjang masa, sebab ada pihak-pihak yang menjadi produsen, distributor, pengecer dan pengasongnya. Khusus di Indonesia, paham liberal ini mulai hidup sejak tiga puluh tahun lalu. Kalau saat ini paham liberal marak, sangat dapat dimaklumi sebab mereka sedang menuai hasilnya. “Para pendukung pemikiran nyeleneh ini bisa saja dari perorangan, lembaga, bahkan negara,” tandas pengamat politik Islam yang menjadi salah seorang garda terdepan dalam membantah pemikiran-pemikiran liberal ini.

Pendapat dua orang cendekiawan Muslim di atas bisa jadi mewakili sebagian pandangan umat Islam Indonesia. Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan.

Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih pada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya.

Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang tidak mau disebutkan namanya. Kepada SABILI, pejabat ini menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah. Dana sebesar itu digunakan untuk melakukan penelitian lapangan ke sejumlah daerah. “Dana itu tidak ada yang gratisan,” tandas sumber SABILI itu.

Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, Ketua Lakpesdam NU ini mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah per tahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.

Sayangnya SABILI tidak memperoleh tanggapan soal ini dari Ulil. Saat SABILI mengonfirmasi soal kebenaran dana di atas, pentolan kelompok JIL ini menolak diwawancara. Bahkan saat wartawan SABILI meminta waktu untuk wawancara, Ulil malah menjawab “Saya tidak bersedia diwawancarai SABILI”. Ketika SABILI balik bertanya kenapa ia tidak bersedia diwawancarai, Ulil balik menjawab serupa, “Begini, saya nggak mau diwawancarai SABILI.” Setelah Ulil menjawab itu, telepon pun terputus. Setelah itu, Ulil tidak pernah menjawab meski sekali pun telepon dan sms dari SABILI.

Seorang profesor hukum yang tidak bersedia namanya disebut memaparkan pengalamannya. Saat diundang anggota DPD memberikan masukan soal hukum Islam di DPR beberapa waktu lalu, ia merasakan adanya kepentingan asing di balik paham liberal. Menurut ceritanya, saat kasus revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mencuat ke permukaan, sejumlah orang dari LSM asing tertentu mendatangi kediamannya. Mereka meminta sang profesor menulis pembaruan KHI dengan imbalan puluhan juta rupiah.

Namun dengan nada halus, sang profesor menolaknya. Tak berhenti sampai di situ. Besoknya, mereka kembali mendatangi sang profesor dan memintanya kembali menulis pembaruan KHI. Tentu saja mereka menyediakan imbalan yang lebih besar lagi. Namun profesor itu kembali menolaknya. Padahal, mereka sudah menyediakan sebuah secarik kertas sebagai kontrak penulisan. “Saya menolaknya karena mencium ada kepentingan tidak baik dalam kontrak tersebut,” katanya.

Kepada SABILI, pria yang pernah menikahkan pasangan beda agama Dedi Corbuzier dan Karlina ini menolak bila disebut sebagai anggota JIL pimpinan Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai SABILI, ia berkali-kali menolak disebut aktivis JIL. “Saya harus tegaskan dulu bahwa saya bukan aktivis JIL, tapi kalau saya diminta mengisi oleh JIL, sesuai latar belakang, saya akan mengisi,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.

Zainun juga menolak dianggap sektarian. Sebagai seorang akademisi, ia mengaku bisa saja berada di mana-mana, baik di DDII, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya. Bahkan jika para aktivis Ahmadiyah atau Syiah mengundangnya, ia bersedia menghadirinya. “Bukan berarti saya masuk kelompok mereka,” katanya.

Untuk menangkal serangan kelompok liberal tersebut, Adian Husaini mengatakan, yang menjadi prioritas utama adalah melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim yang mampu menjawab tantangan pemikiran tersebut, mampu memahami Islam dengan baik dan memahami pemikiran Barat, Kristen, Yahudi dan pemikiran sesat lainnya.

Adian mengutip kisah Sayyidina Umar bin Khaththab ra. Umar menangis bahagia saat seseorang mengritiknya. Adian belum melihat budaya kritik mengritik ini tumbuh di internal umat Islam. Kritik kepada seseorang, menurutnya, masih dinilai sama dengan menjatuhkan. “Ini yang tidak benar. Tradisi kritik ini sulit berkembang jika budaya ilmu tidak berkembang,” tegasnya.

Adian boleh jadi benar. Kehancuran Islam bukan disebabkan kuatnya musuh-musuh Islam, tapi lebih disebabkan lemahnya ketahanan internal umat Islam sendiri. Jika umat Islam kokoh, serangan sedahsyat apapun yang datang dari musuh-musuh Islam, tidak akan mudah menjungkirbalikkan posisi umat. Jadi, sudah semestinya, umat Islam terus membentengi diri dengan akidah dan pemahaman Islam yang benar. (Sabili)

Rivai Hutapea



Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA
Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam

Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Banyak orang dibuat geram sambil mengelus dada oleh pemikiran JIL. Mereka begitu berani menafsirkan ayat al-Qur’an sesuka hati. Salah satu kontroversinya adalah dalam kasus Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).

Salah seorang yang merasa gelisah dengan pemikiran Islam Liberal adalah Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA. Pembantu Dekan I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat ini mengaku sering berhadapan dengan mereka.

Kalau pas berada dalam acara-acara seminar atau diskusi ada orang melontarkan ide-ide nyeleneh itu, ia pun langsung membantah. Menurut ceritanya, dia pernah diundang dalam bedah buku Dr Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, di Pusat Studi Al-Qur’an. Apa yang dikatakan Musdah langsung disanggah dan tak ada satu pun yang dijawab. “Dia ketawa saja. Hanya pertanyaan audiens yang dia jawab.” Pertanyaan Huzaemah oleh Musdah—yang tak lain muridnya semasa kuliah di UIN—hanya dianggap sebagai masukan.

“Bohong kalau mereka diskusi mengutamakan pemikiran intelektual,” tegas Huzaemah. Baginya, apa yang dikerjakan orang-orang itu hanya faktor ekonomi dan cari nama belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan perkembangan pemikiran. Benarkah?

Berikut petikan perbincangan Afriadi dan Eman Mulyatman dari SABILI bersama doktor fiqih perbandingan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang lulus dengan predikat cumlaude ini:

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dipermasalahkan?
Iya, memang. Ketuanya Siti Musdah Mulia. Kita diundang sebagai dewan pakar.

Bagaimana bisa terjadi?
Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Mereka itu kan maqashid syari’ah (tujuan syariah)nya: pluralisme, demokrasi, gender dan HAM. Kalau kita kan maqashidus syaria’ah-nya: hifdz ad-dien, hifdz an-nas, hifdz al-aql, hifdz an-nafs, dan hifdz al-maal (menjaga agama, kemanusiaan, akal, jiwa dan harta benda).

Soal gender?
Saya juga mendukung. Saya dulu Ketua PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah. Persamaan hak itu tidak selalu menguntungkan, bisa merugikan perempuan sendiri. Itu saya tidak sependapat, apalagi sampai bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Bagaimana dengan kaum feminis yang memperjuangan persamaan gender?
Saya termasuk orang yang memperjuangkan hak perempuan yang belum diberikan. Tapi bukan kita mengada-ada. Jangan yang tidak ada dalam ajaran agama atau yang bertentangan dengan ajaran agama, kita perjuangkan. Misalnya seorang istri yang dicerai talak tiga oleh suaminya, dia harus menikah dulu dengan yang lain baru boleh suaminya balik lagi. Lalu, mereka, dengan alasan persamaan hak, mengharuskan laki-laki kawin dulu dengan perempuan lain baru boleh balik sama istrinya. Mereka (JIL-red) tidak sadar, mereka sendiri yang mengharamkan poligami, secara tidak langsung membolehkan poligami. Mereka memikirkan atau tidak, itu malah menambah beban suaminya nanti. Kalau balik sama dia (istri pertama, red) kan tambah lagi istri, tambah lagi anaknya. Mungkin ada anak tiri. Tambah sakit hati lagi. Katanya, mengangkat derajat perempuan?

Tidak selamanya kesetaraan itu menguntungkan wanita?
Iya, bimaa fadhdhalallaahu ba’dhahum ‘alaa ba’dhin (Karena Allah telah memuliakan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) (QS an-Nisaa’: 34). Masing-masing ada perannya. Seperti mencari nafkah. Mereka bilang mencari nafkah itu juga wajib bagi perempuan. Padahal kalau perempuan memberikan nafkah ke keluarga, itu kan hanya sebagai tabarru’ (sumbangan) saja. Jadi kewajiban tetap di pihak laki-laki.

Itu sudah sesat atau bagaimana?
Bisa dikatakan seperti itu.

Lalu Ibu menyusun buku bersama Ibu Prof Zakiah Daradjat?
Ndak dengan Ibu Zakiah, saya sendiri yang menulisnya. Wartawan saja yang bilang buku itu disusun bertiga. Yang benar saya menulisnya sendiri.

Apa latar belakang menulis buku itu?
Ya, dorongan untuk mempertahankan agama. Misalnya perkawinan beda agama boleh, laki-laki kalau cerai dengan istrinya harus ber’iddah. Itu kan bertentangan dengan al-Qur’an. Perempuan juga wajib bayar mahar sesuai dengan budaya setempat, contohnya Sumatera Barat. Padahal Sumatera Barat itu bukan mahar yang dikasih oleh perempuan, tapi itu uang jemputan. Mahar tetap dibayar. Tidak semua orang Minang melaksanakannya, hanya sedikit saja.

Pokoknya kita itu harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah karena Nabi mengatakan taraqtu fi kum amraini lan tadhillu maa intamassaktum bihi ma abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku telah meninggalkan dua hal. Jika kamu berpegang kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul).

Kelemahan JIL apa?
Mereka itu meninggalkan nash dan hanya melihat masalah sosial budaya. Budaya itu kalau sesuai dengan syariat kita pakai. Budaya itu kalau dalam Ushul Fiqih disebut al-‘urf. ‘Urf itu terbagi dua: ‘urf shahih dan ‘urf bathil. ‘Urf shahih itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalau al-’urf bathil adalah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Apakah al-Qur’an dan Sunnah mengikuti budaya atau budaya yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah? Susah kalau kita tidak mengikuti pegangan umat Islam.

Mereka itu mengutamakan budaya dan alergi terhadap syariah?
Kita menghargai orang berijtihad. Silakan saja berijtihad. Tapi, bila kita berijtihad jangan menyalahi aturan-aturan yang telah ada, bahkan yang telah dikenal oleh ulama-ulama Islam sedunia.

Indonesia dikatakan tempat subur bagi perkembangan Islam liberal?
Susahnya, umat Islam sendiri yang melemahkan umat Islam yang lain. Mestinya kita yang mempertahankan ajaran Islam. Ini malah kita sendiri yang mengikuti pemikiran-pemikiran liberal semacam itu.

Apakah ini upaya Barat untuk melemahkan Islam?
Bisa saja.

Sejauh mana pengamatan Ibu bahwa ini adalah trik barat ?
Dugaan kita seperti itu. Barat menuduh orang Islam itu teroris. Padahal tidak ada ajaran Islam yang menghendaki seperti itu. Nabi saja kalau mengirim sahabat untuk peperangan selalu menasihatkan: Jangan kalian memerangi orang tua, perempuan, jangan menebang pohon-pohon.

Bagaimana bentuk dukungan Barat terhadap upaya penyesatan itu?
Iya, contohnya mencetak buku itu, dananya dari Asia Foundation. Selalu mangadakan seminar dan penelitian. Katanya, buku yang mereka buat, Counter Legal Draft (CLD) KHI itu, dananya tujuh miliar dari Asia Foudation.

Bagimana dengan UU kekerasan dalam rumah tangga?
Iya, kecolongan lagi. Sebenarnya dalam perkawinan itu ada huquq az-zaujiyah. Namanya hak suami memberi nafkah, melindungi, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Pemimpin dalam hal ini artinya mengayomi. Dalam al-Qur’an, laki–laki atau suami diserukan wa asyiruhunna bil ma’ruf, pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf, yang patut.

Ribut-ribut soal KHI, Ibu sendiri bagaimana melihatnya?
Kalau dulu, sebelum ada KHI, = sering antara satu pengadilan dengan pengadilan agama yang lain dalam masalah yang sama, = kadang-kadang berbeda putusannya. Setelah ada, ini bisa menjadi pedoman bagi mereka, walaupun masih ada kekurangan-kekurangannya. Pemerintah sudah mengusulkan secara resmi ke DPR untuk menjadikannya sebagai undang-undang hukum terapan peradilan agama. Tahu-tahu nongol CLD-nya Musdah Mulia.

KHI ini lebih dulu dari CLD, sudah diseminarkan berkali-kali. KHI itu resmi dibuat oleh pemerintah, diajukan ke DPR. Kalau yang ini (CLD), Departemen Agama kecolongan, karena pengaruh persamaan gender di belakangnya. Karena mengatasnamakan Depag, orang terkecoh. Dia (Musdah Mulia=red) memang tim persamaan gender. Tapi bukan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk mengkaji masalah wanita. Malah dalam pembahasannya, diundang orang dari agama lain.

Dananya besar ya?
Dari Asia Foundation. Misalnya buku Bu Musdah baru-baru ini diterbitkan, judulnya Muslimah Reformis. Makanya kata Pak Ali Yafie pada waktu bedah buku saya, “Jangan menyangka bahwa dengan terbitnya buku Ibu ini nanti mereka berhenti. Nanti mereka terbit dengan versi lain lagi.”

Betul, seminggu atau dua minggu muncul lagi buku mereka. Bukunya besar dan luks. Sedangkan kita, dengan uang saku sendiri. Buku itu kita keluarkan hanya karena tidak tahan melihat apa yang terjadi, karena tidak tega kalau al-Qur’an dan Hadits diutak-atik.

Apa benar yang dibawa Ulil atau Bu Musdah sesuatu yang baru?
Sesuatu yang baru? Ada juga yang sebelumnya. Misalnya pendapat Abu Zaid yang banyak diangkatnya. Abu Zaid itu kan sekarang ngajar di Yogya. Dulu dia di Mesir, sudah diputuskan di mahkamah Mesir, murtad. Lalu lari ke Belanda. Karena dia orang “pintar”, diangkat jadi dosen di sana. Nggak tahu gimana, dosen dari Belanda dipakai lagi untuk kerja sama dengan UIN Yogya, jadi dosen UIN Yogya.

Ada ancaman mati terhadap Ulil, ada pula Masdar di Mesir yang mau dibunuh di sana?
Kalau itu saya tidak setuju. Tidak boleh main hakim sendiri.
Mereka malah makin berani...
Mudah-mudahan mereka sadar. Nabi saja bahkan dengan macam-macam cobaan dari kaumnya yang waktu itu belum beriman, menyiksa, mengejek. Beliau doakan, “Wahai Tuhan! Berikanlah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengetahui.” Mudah-mudahan nanti akan sadar, insya Allah. Kita doakan saja.

Kenapa di Indonesia pemikiran liberal menjadi subur?
Ada juga yang karena masalah pribadi. Ada juga karena dorongan ekonomi. Dapat uang misalnya. Karena dapat uang seperti tadi, menulis nanti dapat uang.

Ada faktanya?
Kan kenyataan, itu yang dicetak ongkosnya sampai tujuh miliar. Ada satu orang, saya tidak mau menyebutkan namanya, seorang pakar dari bidang KHI yang resmi dipakai, sekarang mendapat tawaran menulis. Kalau dia mau menulis tentang pembaruan kompilasi hukum Islam yang ada, yang dipakai berjalan sekarang, dikasih 40 juta rupiah. Tapi tidak mau. Pakar tersebut berkata, untuk apa saya menjual akidah saya.

Jadi benar bahwa perkembangan Islam Liberal di Indonesia bukan karena perkembangan pemikiran?
Karena ekonomi, juga karena cari nama.

Islam liberal subur di NU?
Tidak juga. Di Muhammadiyah juga ada Pak Zainun (Zainun Kamal, red). Itu kan Muhammadiyah. Kalau dari NU banyak yang ke JIL. Kalau dari Muhammadiyah banyak ke JIM (Jaringan Intelektual Muda, red). Itu kan pemikiran liberal semua. Jadi dari dua organisasi besar ini, ada anak mudanya ikut seperti itu.

Sejauh mana bahayanya pemikiran ini?
Berbahaya, mengancam agama, meresahkan masyarakat. Makanya Menteri Agama waktu peluncuran buku saya mengatakan, “Saya sudah batalkan! Saya sudah batalkan!” Maksudnya CLD-KHI itu sudah dia batalkan.

Bagaimana jika pemikiran semacam ini didiamkan, katakanlah 10 tahun ke depan, apakah akan semakin berkembang?
Walaupun ada pemikiran seperti itu, mayoritas belum setuju dengan pendapat begitu. Sebetulnya yang ada begitu sedikit, hanya beberapa orang. Wartawan juga yang bikin mereka terkenal. Orang-orang kebanyakan malah semua nggak senang, resah.

Kenapa tidak ditindak tegas?

Soalnya yang lainnya nggak kompak. Mengcounter hanya sendiri-sendiri. Coba kalau ramai-ramai.

Tidak ada komentar: