Selasa, 26 Agustus 2008

Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis

Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi


Beberapa kelompok dari Islam Liberal melakukan usaha rehabilitasi ‘kecurigaan’ dalam acara Natal yang terjadi tiap tahun. Sayang usaha itu melahirkan ‘sinkretisme teologis’

Meski sudah lewat, ada catatan-catatan penting menyangkut perayaan Natal kemarin. Tulisan ini mencermati artikel dua orang aktifis Islam Liberal. Pertama, artikel yang ditulis oleh Mohammad Guntur Romli di www.islamemansipatoris.com (JIE/red) (27/12/2004) dengan judul “Natal dan Pesan Dialog Agama”. Kedua, adalah artikel Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat di www.islamlib.com (JIL/red) (27/12/2004) dengan judul “Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal”.

Guntur, yang juga mahasiswa Al Azhar, saat itu mengatakan, “Saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”, demikian kutipnya.

Ini juga terjadi pada tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Ia bahkan ingin menciptakan model ta’âruf Qur'ani. Hanya saja, ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya, ia menganjurkan kawin campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, Natal dan bid`ah. Akibatnya, kedua penulis terjebak dalam ‘sinkretisme teologis’.

Poin penting dari tulisan Mohammad Guntur Romli dan Ulil Abshar yang akan saya tanggapi adalah;
(1) Kehadiran Tuhan,
(2) Penyaliban Yesus,
(3). Al-Qur’an bukan “Kitab Pembatal” dan
(4) bid’ah Natal.

Pertama, menyangkut kehadiran Tuhan.

Penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak dianggap detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Firthjof Schuon dalam bukunya ‘Filsafat Parenial’ sangat kurang tepat.

Kristen dan Islam memiliki same platform (kalimah sawâ’), bukan common platform (kalimah musytarakah) yang selama ini disalahpahmi oleh beberapa kaum pluralis. Karena inti ajaran (akidah) Kristen dan Islam pada dasarnya adalah monoteisme (Tauhid), bukan kehadiran Tuhan. Hal ini dapat kita temukan baik dalam Perjanjilan Lama (Old Testament) maupun Perjanjian Baru (New Testament).

Sebagai contoh dapat dilihat dalam Perjanjian Lama; (1) Tuhan itu Allah, tidak ada yang lain (Ulangan 4: 35); (2) Akulah yang pertama dan yang terakhir, tidak ada tuhan selain Aku (Yesaya 44: 6); (3) Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Tuhan Yang Esa di dalam Taurat (Keluaran 8: 10); (4) Allah melarang membuat patung-patung atau berhala-berhala untuk disembah (Lawi 19: 4) dan (5) Nehemia dalam munajatnya berkata: “Engkaulah Tuhan yang Maha Esa!” (Nehemia 9: 6).

Sedangkan dalam Perjanjian Baru, misalnya; (1) Lalu guru agama itu berkata kepada Yesus, "Tepat sekali, Bapak Guru! Memang benar apa yang Bapak katakan: Tuhanlah Allah yang esa, dan tidak ada lagi Allah yang lain (Markus 12: 32) [Yasir Anwar, Alâm al-Masîh 2004: 17]; (2) Allah tidak bisa dilihat (Yohanes 5: 37); (3) Iblis meminta Yesus untuk menyembahnya, kemudian –saat itu—Yesus menyuruhnya pergi, karena sudah tertulis bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disembah (Matius 4: 10); (4) Yesus menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata; Inilah hidup yang kekal, supaya mereka mengenal-Mu, Tuhan yang sesungguhnya dan Yesus yang Engkau utus (Yohanes 17: 3); (5) Di dalam surat Paulus kepada penduduk Roma; Karena Allah itu satu (Roma 3: 30) dan lainnya (Dr. Muhammad Ahmad al-Hâjj, al-Nashrâniyah min al-Tawhîd ilâ al-Tatslîts, 2002: 69-74).

Di samping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Firthjof Schuon di atas kurang representatif, karena dia seorang filosof, bukan seorang teolog. Tentu saja seorang teolog lebih mumpuni di dalam memahami ajaran agama tinimbang seorang filosof, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang filosof juga merangkap seorang teolog.

Dalam hal ini Leibniz (1646-1716) lebih mumpuni tinimbang Schuon. Sehingga Leibniz lebih dikenal dengan terma Theodicy-nya. Maka, kesamaan platform (same platform) Kristen dan Islam, terletak pada monoteisme, bukan kehadiran Tuhan.

Kedua, Penyaliban Yesus.

Adalah hal yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus di tiang salib merupakan hal yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyâs ma`a al-fâriq bâthil. Sama halnya dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketika menyatakan bahwa makna nuzul dalam Islam sama dengan nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan, nuzul dalam Islam dalam bentuk Al-Qur’an, sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan qiyas antara Al-Qur’an dengan Injil. Dan itu lebih rasional. Penulis kira Injil juga nuzul dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari Allah?

Dalam Islam ada ajaran kurban (al-‘udlhiyah) pada hari raya `Idul Adlha, bukan jihad seperti yang ditulis Guntur. Selain itu, jihad bukan sampai darah penghabisan. Dalam Islam dijelaskan bahwa jihad itu sampai target jihad tercapai. Kalau sudah tercapai tidak perlu sampai darah penghabisan, itu namanya mati konyol. Dalam Al-Qur’an hal itu sudah tampak gamblang diterangkan oleh Allah swt (Qs. 2: 19-193), belum lagi dalam Hadits Nabi SAW.

Ketika ada yang menyatakan bahwa umat Islam tidak bisa menolak ajaran Penyaliban Yesus, dengan alasan dalam Islam ada syafa’at karena dipandang sama-sama berbentuk pengampunan. Jelas wacana seperti ini bisa dikatakan “jauh panggang daripada api”. Kita tidak boleh hanya mementingkan hal yang sifatnya sekunder, semacam kerukunan beragama, namun terpaksa mengorbankan garis akidah yang jelas. Sumber ajaran (akidah) adalah kitab suci. Karenanya, penyaliban harus dilihat dari kitab suci (Bibel) dan Al-Qur’an. Jadi tidak bisa hanya lewat rasio (akal) yang memiliki kemampuan yang terbatas (limited ability).

F. Kenyon dalam bukunya The Bible and The Ancient Manuscripts pada halaman 48 memuat kisah ‘Penyaliban Yesus’ yang tercatat dalah Injil Markus. Kenyon menyatakan bahwa dalam pandangan prioritas kronologisnya, Markus harus diletakkan pada sumber pertama episode ini.

Tetapi riset modern membuktikan, bahwa dua belas ayat (mulai ayat 9 sampai 20) yang terdapat di bagian terakhir Injil itu adalah palsu dan tidak ditemukan di manuskrip-manuskrip tertua. (baca Dr. Hamid Qadri, Dimension of Christianity (Terj) Masyhur Abadi & Lis Amalia R; “Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen”, 2004: 61).

Kiranya sumber doktrin yang sudah mengalami distorsi tidak bisa dijadikan sebagai landasan ide dan pemikiran. Perlu ditambahkan bahwa dalam Injil sendiri masih terdapat kesimpangsiuran dalam kisah Penyaliban Yesus.

Sebagaian mengatakan penyaliban adalah hal yang dilarang. Menurut syariat Yahudi menyebut, "Setiap yang disalib di atas kayu (tiang salib) terlaknat." Dalam teks dari kitab Ulangan juga menyebutkan, “Apabila seseorang telah dihukum mati karena suatu kejahatan, dan mayatnya digantung pada tiang, mayat itu tidak boleh dibiarkan di situ sepanjang malam, tetapi harus dikubur pada hari itu juga. Mayat yang tergantung pada tiang mendatangkan kutuk Allah... (Kitab Ulangan 21: 22-23)

Masih banyak kesimpangsiuran yang lain. Di setiap bagian dalam Injil, Al-Masih tidak mengatakan, "Niscaya aku akan disalib." Namun ia senantiasa berbicara dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). "Niscaya anak manusia akan disalib, akan dibunuh".

Nyata sekali bahwa penggunakan kata ganti 'orang ketiga' di sini bukan secara serampangan (sembarangan), namun merupakan tujuan yang sudah pasti dalam membicarakan 'seseorang yang tidak hadir namun ada, atau yang ada orangnya namun tidak hadir (di saat itu)'. Maka sosok yang sebenarnya (Al-Masih) dalam keadaan tidak ada (al-ghâ'ib) dan orang yang disalib (al-mashlûb) adalah orang yang mirip dengan Al-Masih (syabîh al-masîh) dalam kedaan hadir.

Karenanya, tidak mungkin kata ganti yang lain menjelaskan perkara ini, kecuali kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). Dan satu-satunya perkataan Al-Masih yang menggunakan orang pertama adalah, “Wa hîna u'allaqu marfû'an min al-arhdi, adzdibu al-jamî'”. (Kalau aku sudah ditinggikan di atas atas bumi, aku akan menarik semua orang kepadaku (Yohanes 12: 32).

Dalam hal ini, beliau tidak ada sedikitpun menunjukkan tentang salib, sebagaimana terjemahan dalam bahasa Arab 'u'allaqu tidak benar. Karena dalam bahasa Inggris 'lifted up', bermakna 'diangkat', bukan digantungkan ('u'allaqu). Maka tidak ada perselisihan diantara kita bahwa Al-Masih telah diangkat ke langit dalam keadaan hidup atau mati.

Adalah sesuatu yang bijak jika kita mempelajari sebuah doktrin agama langsung kepada sumber aslinya (primary refence). Penebusan dosa dalam Islam tidak lewat syafaat, melainkah lewat istighfar (memohon ampun) kepada Allah. Bukankah Nabi saw mengajarkan umatnya untuk meperbanyak istighfar? Karena syafaat bukan untuk semua manusia, melainkan bagi mereka yang berdosa. Sedangkan dalam Kristen, orang seluruhnya sudah diampuni dosanya cukup dengan mengakui bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Menurut Marthin Luther, tidak rasional dan salah fatal menyamakan penebusan dosa dengan Penyaliban Yesus Kristen yang sampai hari ini masih mengandung kontroversial di kalangan Kristen sendiri.

Maka cukup beralasan jika Al-Qur’an menyatakan wamâ qatalûhû wamâ shalabûhu walâkin syubbiha lahum.

Pernyataan kaul liberal yang mengatakan bila Yesus merupakan “kalimat” dan “ruh Allah” adalah kesalahan fatal yang perlu diluruskan. Al-Qura’n tidak pernah menjelaskan hanya dengan “ruh” dan “kalimat Allah”. Allah senantiasa menggandengkan kata “ruh” dengan kata “minhu”. Begitu juga dengan “kalimat”, selalu disandingkan dengan kata ganti (dhamîr) hu, sehingga menjadi kalimatuhû. Hal ini dapat dibaca dalam QS. 4: 171, “Innama al-Masîhu `Isa bnu Maryam Rasûlullâhi wa kalimatuhû alqâhâ ilâ Maryam wa Rûhun minhu (Sesungguhnya Al Masih `Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya). Jelas berbeda antara “ruh Allah” dengan “ruh dari Allah”.

Ketiga: Al-Qur’an bukan “Kitab Pembatal”?

Ulil Abshar Abdalla juga sempat menyinggung bahwa Al-Qur’an bukanlah “Kitab Pembatal”. Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran (truth claim) merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, salah satu tindakan yang salah adalah klaim buta (blind claim). Itulah yang tidak dapat diterima.

Klaim-klaim buta yang tidak berdasar merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Pernyataan Ulil bahwa Al-Qur’an bukan ‘Kitab Pembatal’ harus dilihat kembali dengan kritis. Yesus hadir (diutus) ke dunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia hanya melengkapi (menggenapi) hukum Taurat yang dibawa oleh Musa (Matius 5: 17-18). Maka, Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus Taurat, meskipun datangnya belakangan. Ia hanya bisa disebut sebagai ‘mushaddiq’ (pembenar). Lain halnya dengan Al-Qur’an, meskipun Al-Qur’an turun bukan sebagai ‘Kitab Pembatal” --namun ia merupakan penghapus beberapa hukum Taurat--, tapi ia (Al-Qur’an) turun sebagai pembenar (mushaddiq) sekaligus muhaimin `alaihi (batu ujian). Hal-hal inilah yang sering luput dari pengamatan kaum liberal seperti Guntur dan Ulil.

Al-Qur’an merupakan filter akidah dan ayat-ayat yang ada dalam kitab yang turun lebih dulu (Taurat dan Injil). Dengan demikian, Al-Qur’an pada intinya merupakan kitab ‘pembatal’, meskipun bukan pembatal seratus persen. Sebut saja cara bertobat. Umat zaman dahulu kalau bertobat harus bunuh diri (Qs. 2: 54), dalam Islam tentu tidak seperti itu, cukup dengan taubat; tidak perlu sampai membunuh diri. Dan yang tidak dihapus itu adalah doktrin monoteisme (Tauhid). Itulah yang disebut dengan same platform (kalimah sawâ’). Meskipun tampaknya hanya Islam (saat ini) yang berpegang teguh pada kalimah sawâ’ ini.

Keempat: bid`ah Natal.

Ada hal penting yang harus ketahui dalam masalah bid`ah. Pertama, bid`ah itu terbagi dua, pertama bid`ah dalam kebiasaan (adat) dan kedua, bid`ah dalam agama (al-dîn). Bid`ah dalam bentuk pertama dibolehkan, karena asal (dasar) dari segala sesuatu itu adalah boleh (al-ibâhah). Sedangkan bid`ah dalam agama adalah haram, karena pada dasarnya adalah al-tawqîf (berdasarkan penjelasan Nabi saw berdasarkan wahyu dari Allah swt).

Kata Nabi, "Man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak.

Contohnya adalah menghadiri perayaan Natal. Karena perayaan Natal bersama juga merupakan bid`ah yang dilarang oleh agama. Karena Natal merupakan salah satu hari besar dalam agama Kristen, jelas menghadirinya tidak boleh dan dilarang keras oleh agama.

Ibnul Qayyim al Jauziyah di dalam bukunya As-Syarhus Syuruth Al Umariyah, mengutip sebuah sabda Nabi saw, “Laa tadkhuluu `alaa ha’ulaai al-mal`uuniin illaa antakuunuu baakiina. Fainlam takuunuu bakiina falaa tadkhuluu `alaihim, an yushibakum mitslu maa ashabahum (Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilaknat oleh Allah kecuali dengan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinnya, karena nanti kamu akan tertimpa (azab) seperti yang diterima mereka).”

Dalam kitabnya, “Iqtidlaa ‘ash Shirathil Mustaqim Mukhaalifata Ashhaabil Jahim” , Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab ra. pernah menyatakan, “Ijtanibuu a`daa’allaahi fii `idihim (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).

Kaum non-muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma` sahabat dan disepakai jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan Natal bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masayarakat Muslim—adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka”.

Secara realita, di Indonesia tidak pernah ada pihak yang dirugikan seandainya agama-agama lain (Islam, Hindu dan Budha) tidak menghadiri ‘Perayaan Natal Bersama’. Apakah dengan tidak hadirnya umat Islam akan dianggap Islam tidak toleran? Atau Perayaan Natal tersebut kurang khidmat dan tidak khusyuk? Sehingga dapat mengurangi makna Natal itu sendiri. Karena umat Islam pun tidak pernah ribut ketika melaksanakan Idul Fithri dan Idul Adlha meski umat lain tak menghadiri.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir

Tidak ada komentar: