Jumat, 05 September 2008
Mitos Zionis
Zionis dan HAM
Infiltrasi Zionisme di AS
Infiltrasi Zionisme di AS
Bagian I
Sudah sejak lama dunia menyaksikan konsolidasi AS dan Rezim Zionis, serta dukungan Gedung Putih kepada Zionisme dalam memperkuat kekuasaan Israel di kawasan Timur Tengah. Pembunuhan warga Palestina, instabilitas di Suriah dan Lebanon, perluasaan gudang senjata nuklir Israel, dan masalah-masalah lainnya adalah hasil persekongkolan Washington-Tel Aviv yang membahayakan situasi di kawasan.
Zionisme yang merupakan sebuah gerakan politik itu, mengumumkan eksistensinya pada tahun 1897. Bersamaan dengan dimulainya perang dunia pertama, keterkaitan kepentingan kekuatan-kekuatan besar dunia dengan gerakan Zionisme menjadi pemicu penandatangan deklarasi Balfour yang berujung dengan terbentuknya rezim ilegal Zionis di tanah Palestina. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris yang waktu dijabat oleh Arthur James Balfour, mengeluarkan pernyataan yang berisi keterangan mengenai pembentukan “tanah air bangsa Yahudi” di Palestina. Kebanyakan para pemimpin Zionis saat itu adalah orang-orang liberal yang tidak mempercayai agama Yahudi. Mereka pada awalnya tidak memandang Palestina sebagai negeri yang akan menjadi milik orang-orang Yahudi.
Untuk pertama kalinya masalah pembentukan negara Zionis diketengahkan oleh negara-negara kolonialis Eropa. Pembentukan negara Zionis di tanah Palestina itu dimaksudkan untuk menjaga kepentingan negara-negara Eropa di kawasan strategis Timur Tengah. Palestina yang terletak di pusat pemerintahan Ottoman serata dekat dengan Mediteranian dan terusan Suez, merupakan kawasan penting untuk Eropa. Dalam hal ini seorang kritikus besar Yahudi anti Zionis, Moshe Manuhin mengatakan, “Hingga abad 19 tidak ada yang namanya Zionisme. Kesombongan Eropa-lah yang menciptakan politik nasionalisme pembawa bencana dan kekonyolan untuk orang-orang Yahudi, dengan nama Zionisme. Seandainya Zionisme tidak ada, pemerintah Inggris pasti akan menciptakan gerakan seperti ini.”
Ada beberapa faktor yang mendorong Zionisme menyatakan eksistensinya di dunia. Faktor tersebut adalah runtuhnya pemerintahan Ottoman di Turki, pecahnya perang dunia pertama, serta pro dan kontra kepentingan Eropa. Di awal abad 20 pemerintah Inggris sudah menyiapkan pembentukan negara Zionis di tanah air bangsa Palestina. Jelas bahwa Inggris tidak dapat menerima kehadiran kekuatan lain di kawasan Timur Tegah yang berada di bawah kekuasaanya. Inggris berpikir untuk tetap menjaga kepentingannya di kawasan. Dengan alasan inilah, Inggris mengijinkan orang-orang Yahudi untuk berimigrasi dan tinggal di Palestina, yang untuk selanjutnya dimanfaatkan membentuk negara Yahudi di sana. Dengan demikian, Inggris berharap bisa memperkuat kekuasaannya di dunia Arab.
Setelah tiga dekade berlalu dari pendudukan Inggris atas Palestina, seluruh infrastuktur Palestina dihancurkan oleh gerakan Zionis dan diubah menjadi pusat-pusat perekonomian, budaya, dan politik Zionis. Setelah 30 tahun berlalu, masa keemasan hubungan Zionis dan pemerintah Inggris berakhir bersamaan dengan dimulainya perang dunia kedua serta kebangkitan rakyat Palestina melawan Zionisme dan Inggris. London yang merasa kepentingannya terancam mengambil kebijakan yang berbeda dengan gerakan Zionis dengan tujuan untuk menjaga hubungan dengan dunia Arab. Hasilnya adalah, gerakan Zionisme harus berhadapan dengan Inggris.
Yang menarik adalah, orang-orang Eropa pendukung Zionisme sendiri menyadari bahwa dalam sejarah tidak ada bukti-bukti hak kepemilikan kaum Yahudi atas negeri Palestina. Pada tahun 1920, para bangsawan Inggris yang bergelar Lord terlibat pembahasan sengit menyangkut penguasaan Inggris atas Palestina dan deklarasi Balfour. Salah seorang bangsawan Inggris bernama Lord Sydenham mengatakan, “Palestina bukan negeri orang-orang Yahudi. Akan tetapi orang-orang Yahudi merampasnya setelah sebelumnya melakukan pembunuhan terhadap warga Palestina. Jika orang-orang Yahudi dapat memiliki Palestina, orang-orang Romawi juga bisa mengklaim kepemilikan mereka atas Inggris”.
Namun dengan pecahnya perang dunia kedua, AS muncul sebagai kekuatan baru di kancah politik dunia internasional dan kawasan Timteng. Dari satu sisi, kekuatan militer dan keuangan AS, dan dari sisi lain, pengaruh orang-orang Zionis dalam pemerintahan AS merupakan dua faktor yang mendorong gerakan Zionisme bernaung di bawah payung AS dan melawan Inggris. Hal ini ditambah lagi dengan ketamakan imperialis AS yang akhirnya menjadikan gerakan Zionisme sebagai sekutunya di kawasan Timur Tengah. Khususnya pada tahun 1930 saat Washington mengincar sumber-sumber minyak di Arab Saudi dan Teluk Persia. Saat itulah AS menandatangani berbagai kontrak penting dengan para pemimpin negara-negara Arab untuk mengeksploitasi minyak di kawasan. Di sisi lain, AS juga memandang kawasan Timur Tengah khususnya negara-negara Arab sebagai pasar yang sangat menjanjikan untuk konsumsi barang-barang produksi AS. Beranjak dari sini, ketika diadakan konferensi Zionis di hotel Bilt More, New York, pada tahun 1942, pemerintah Washington menyatakan dukungannya kepada pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Kekuatan Inggris pada saat itu sudah sangat lemah akibat perang dunia kedua. Inggris tidak lagi mampu menyatukan sekutu-sekutunya untuk menghadapi tekanan Amerika Serikat. Untuk itu, pada tahun 1948, pemerintah Inggris secara resmi mengakhiri masa pendudukannya selama 30 tahun atas negeri Palestina. Selanjutnya, masalah Palestina dilimpahkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa yang saat itu masih seumur jagung. Sayangnya, PBB yang banyak dipengaruhi oleg kekuatan-kekuatan imperialis dunia semisal AS mengeluarkan keputusan yang bertolak belakang dengan tuntutan dan kemauan rakyat Palestina dan bangsa Arab, dengan membagi negeri Palestina menjadi dua bagian, Palestina dan Yahudi pada tanggal 29 November 1947.
Keputusan yang disahkan oleh Majleis Umum PBB itu ditindaklanjuti oleh orang-orang Zionis untuk mengumumkan pembentukan rezim dengan nama Israel pada tanggal 14 Mei tahun 1948. Pembentukan rezim tak legal dengan dukungan AS ini, diumumkan hanya selang beberapa jam setelah Inggris secara resmi keluar dari Palestina. Sejak itulah, kaum Zionis mengusai sebagian besar wilayah negeri Palestina.
--------------------------------------------------------------------------------
Bagian II
Infiltrasi dan kekuasaan zionisme di berbagai struktur pemerintahan AS, termasuk di jantung gedung putih, adalah masalah yang berkali-kali dibicarakan di lembaga-lembaga politik dunia. Kekuasaan atas media massa, struktur politik, militer dan sosial di AS, dan pada akhirnya infiltrasi serta kekuasaan zionisme di dalam sistem perekonomian AS, adalah sesuatu yang selalu muncul di dunia sebagai faktor saling pengaruh-mempengaruhi antara AS dan rezim zionis. David Luchins, wakil ketua Asosiasi Kerjasama Yahudi Ortodoks AS, dalam hal ini berkata, “Kami bukan sebagai kelompok minoritas, tetapi bagian dari mayoritas dimana segala sesuatu yang kami inginkan, pasti akan berlaku.”
Oleh sebab itulah, dengan mempelajari sejarah 55 tahun pendudukan Palestina dan deklarasi keberadaan ilegal rezim zionis, kita lihat bahwa semua presiden AS tanpa terkecuali, pasti melakukan pertemuan dan dialog dengan para pemimpin Yahudi dan pemimpin Israel. Dokumen-dokumen terpercaya juga menunjukkan bahwa pertahunnya 1/5 dari seluruh bantuan luar negeri AS diberikan kepada rezim zionis. Selain itu, berbagai kedutaan dan konsulat luar negeri AS selalu memiliki diplomat-diplomat yang bertugas mempelajari berbagai jalan perluasan hubungan dengan warga Yahudi Amerika, dalam rangka menjaga interes negara mereka. Di kalangan para diplomat asing, beredar pemeo terkenal sebagai berikut; “Jika Anda ingin memperoleh mediator yang handal di AS untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan negara Anda, maka Anda dapat memanfaatkan pengaruh warga Yahudi Amerika.”
Akan tetapi siapakah tokoh-tokoh Yahudi dan bagaimana sejarah kehadiran mereka di dalam berbagai struktur pemerintahan AS? Jawabannya ialah sebagaimana tercatat dalam sejarah sebagai berikut:
Di awal abad ke-20 di tahun 1916, Loise de Brandis, diutus oleh kader kepemimpinan zionisme di Eropa untuk menarik dukungan warga Yahudi Amerika. Idenya untuk memperkenalkan zionisme bukan sebagai sebuah gerakan nasionalis, akan tetapi sebagai gerakan pencari jalan keluar untuk menyelamatkan bangsa Yahudi, membuat para pendukung zionisme di AS melonjak dari 12 ribu orang menjadi 150 ribu orang.
Brandis sendiri berkata :“Dukungan kepada zionisme bukan berarti hijrahnya seorang Yahudi atau perolehan kewaraganegaraan asing. Tetapi, untuk menciptakan Amerika yang lebih baik, kita harus menjadi Yahudi yang baik, dan untuk menjadi Yahudi yang baik, kita harus menjadi seorang zionis.”
Efektifitas slogan seperti itu dalam menarik keanggotaan dari masyarakat Yahudi Amerika, telah membuka peluang yang amat luas bagi terbentuk dan terlembaganya masyarakat Yahudi Amerika. Dengan demikian, setelah berabad-abad, melalui warga Yahudi imigran dan dengan bantuan zionis Eropa, terbentuklah masyarakat Yahudi AS; dan Amerika pun dipilih sebagai tempat yang dianggap paling sesuai untuk pusat aktifitas mereka.
Jelas sekali bahwa terlepas dari kepentingan-kepentingan berbagai kekuatan imperialis, borjuisme baru kemunculan Yahudi Eropa di abad ke-20, adalah para pendukung dan pendiri gerakan zionisme dan keberadaan Yahudi di AS dan Israel. Sesungguhnya, borjuisme Yahudi di paruh kedua abad ke-19, bahu-membahu dengan imperialisme Eropa, memiliki peran utama dalam menciptakan gerakan zionisme dan rancangan penempatan Yahudi di Palestina.
Karena, melihat kondisi perekonomian dan sosial abad ke-19 serta munculnya aliran-aliran baru di tengah masyarakat Yahudi Eropa dengan tujuan beraktifitas di negara-negara tuan rumah, berbagai kepentingan borjuisme Yahudi dan para pemimpin agama Yahudi benar-benar menghadapi bahaya. Berbareng dengan munculnya kapitalisme, kepungan-kepungan di sekeliling warga Yahudi hancur dan masyarakat Yahudi secara perlahan mulai di terima dan melebur ke dalam bangsa-bangsa Eropa.
Dari sisi ini, warga Yahudi yang telah merdeka di Barat tidak lagi memandang diri mereka sebagai warga terkucil, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Eropa. Bahkan pada saat itu mereka telah disebut sebagai Yahudi Inggris, Perancis dan negara-negara Eropa lainnya. Perubahan di abad ke-20 ini menimpakan pukulan berat pada Judaisme yang selama itu merupakan sandaran utama para bankir, pemilik pabrik dan kalangan bisnis Yahudi.
Perbedaan kelas dan perselisihan ras di dalam masyarakat Yahudi dan upaya kalangan elit kaya Yahudi untuk keluar dari kontrol para pemimpin agama, membuat mereka berusaha merebut kendali masyarakat Yahudi dari para pemuka agama, dengan tujuan menegakkan dan menguatkan Judaisme terpusat. Kepemimpinan ini juga harus berputar di sekitar poros gerakan zionisme.
Sebagai sebuah gerakan murni politik dan dengan memanfaatkan atau lebih tepatnya menyalahgunakan, agama Yahudi, zionisme mampu bekerja sebagai sumber kekuatan borjuisme Yahudi. Tak diragukan, bahwa zionisme diciptakan oleh para kapitalis Yahudi dengan tujuan menegakkan kembali kekuasaan dan kekuatan yang hilang, juga untuk mencegah meleburnya warga Yahudi di negara-negara Eropa serta menarik kekayaan Yahudi di Barat ke sebuah pusat tertentu.
Oleh karena itulah lembaga-lembaga keuangan dan politik Yahudi serta organisasi-organisasi internasional zionisme didirikan oleh para kapitalis Yahudi Eropa dan dengan berada di AS kemudian Palestina, mereka menjalin ikatan diantara keduanya. Di abad ke-21 ini, salah satu pemimpin organisasi Yahudi Amerika, berkata, “Hari ini, kita masyarakat Yahudi Amerika, telah berhasil, baik di tingkat internal dan nasional, maupun di tingkat internasional, merealisasikan sesuatu yang tidak pernah diimpikan oleh nenek moyang kita. Melanjutkan perjuangan mereka, kini putra-putra mereka telah berhasil memperoleh kekuatan yang sedemikian besar di Amerika. Ini semua adalah berkat kerjasama lembaga-lembaga Yahudi zionis di AS.”
Dari sisilah maka saat ini, setelah lewat beberapa dekade, kita menyaksikan bahwa kaum zionis berhasil memperoleh berbagai jabatan di dalam struktur politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan AS; dan dengan leluasa mereka mengendalikan kebijakan AS kemana pun mereka kehendaki. Sementara itu, dukungan-dukungan penuh lembaga-lembaga eksekutif dan selain eksekutif AS kepada Israel, juga infiltrasi rezim zionis di dalam struktur diplomasi Washington, terutama dalam pengambilan kebijakan AS di Timur Tengah, sangat kentara menunjukkan adanya pengaruh lobi zionis di AS
--------------------------------------------------------------------------------
Bagian III
Imigrasi Yahudi ke AS, sebagaimana yang disebutkan di dalam sejarah, dimulai pada tahun 1492 dan abad kelima Masehi. Pada tahun itu, Christofer Colombus, bersama 300 orang Yahudi memasuki benua Amerika. 300 orang Yahudi ini adalah mereka yang setelah akhir pemerintahan Arab, terusir dari Spanyol. Setelah peristiwa ini, yang dianggap sebagai awal mula migrasi Yahudi ke benua Amerika, di awal abad ke-19 (tahun 1815) 6000 Yahudi datang ke Amerika yang mereka ini kemudian dikenal dengan nama “Yahudi timur”. Mayoritas warga Yahudi imigran di Amerika ini berasal dari Spanyol, Afrika Utara, negara-negara Arab dan Asia, terutama India. Setelah itu gelombang ketiga migrasi Yahudi ke benua Amerika dimulai bersamaan dengan masa revolusi dan kebangkitan di Eropa, antara tahun 1815 hingga 1884.
Di tahun-tahun ini, warga Yahudi yang datang ke Amerika dari Jerman saja, sebanyak 100.000 (seratus ribu). Diantara tahun 1880 hingga 1930, perpindahan Yahudi Rusia dan eropa Timur ke Amerika meningkat tajam. Dengan demikian jumlah warga Yahudi di Amerika telah melewati angka 200.000 (dua ratus ribu). Akan tetapi, saat ini dan di abad ke 21 ini, jumlah Yahudi di AS telah melewati angka 6 juta jiwa. Angka ini menempati 3 persen dari keseluruhan jumlah penduduk AS. Diantara para imigran lain yang memasuki benua Amerika, warga Yahudi lebih sukses dalam menyusupkan diri ke tangah masyarakat Amerika. Saat ini warga Yahudi Amerika memegang peran penting dan kunci di dalam struktur politik, ekonomi, dan sosial negara ini. Selain itu lembaga-lembaga Yahudi Amerika juga meletakkan rezim zionis di bawah payung perlindungan dan dukungan mereka, bahkan mereka membantu anggaran belanja negara rezim zionis tiap tahunnya. Tambahan lagi, lobi-lobi zionis juga merupakan alat penekan yang sangat aktif terhadap pemerintah AS, yang selalu bergerak untuk mendukung politik ekspansif rezim zionis di Timur Tengah. Lobi atau lembaga politik, dalam kamus politik digunakan untuk menyebut sebuah kelompok yang memiliki tujuan-tujuan dan kemaslahatan bersama dengan sebuah negara tertentu, dan dengan menyusup ke dalam sistim politik negara ketiga, termasuk ke dalam parlemen, mereka mengarahkan kebijakan politik negara ketiga ini ke arah yang menguntungkan mereka, bahkan jika perlu mereka akan melakukan perubahan-perubahan pemerintahan di negara tersebut.
Biasanya, lobi-lobi ini melakukan berbagai aktifitas untuk mencpaai tujuan-tujuan mereka. Aktifitas-aktifitas itu mencakup wawancara dan dialog-dialog dengan para pemegang jabatan politik, penyiapan laporan, penyampaian pidato, analisa dan perumusan hukum-hukum, bahkan bila perlu penyusunan rancangan hukum dan menyodorkannya kepada parlemen negara yang mereka susupi. Seusai peran dunia kedua, lobi zionis di bidang politik AS muncul sebagai sebuah lembaga yang sangat kuat. Usaha Louis D. Bransid, utusan kader kepemimpinan zionisme Eropa ke AS pada tahun 1914 dengan tujuan memberikan dukungan kepada warga Yahudi AS, memberikan hasil lumayan, dengan membangkitkan emosi mereka lewat paparan “Penyelamatan Yahudi Dari Kekejaman Kekuatan Asing”, dan muncul sebagai pembuka bagi pembentukan dan pengorganisasian masyarakat Yahudi AS. Setelah perang dunia kedua muncullah jaringan luas dari organisasi-organisasi Yahudi Amerika, dan secara perlahan menguasasi segenap lembaga dan struktur politik, ekonomi dan sosial AS. Dalam catatan terbaru yang tertsebar di AS, jumlah lembaga Yahudi AS mencapai 348, ditambah lagi dengan 500 sinagog Yahudi di negara ini. Sinagog atau gereja Yahudi di AS, dewasa ini, tampil sebagai lembaga-lembaga sosial moderen, bukan sekedar tempat beribadah, tetapi juga merupakan pusat-pusat penyusunan program bagi semua warga Yahudi, yang semuanya berusaha melakukan aktifitas-aktifitas sosial, kebudayaan, bahkan politik. Di dalam masyarakat Yahudi AS, berlaku peribahasa yang sangat dikenal, yang selain mengandung satire di dalamnya, juga menunjukkan cara berpikir warga Yahudi dan pandangan mereka terhadap lembaga-lembaga tersebut. Peribahasa tersebut ialah, “Menjadi seorang Yahudi berarti menjadi anggota salah satu lembaga Yahudi”.
Martin Best, dan Irk Robb, dalam buku “Yahudi Amerika dan Pandangan Baru Kepada Struktur Sosial Amerika” memaparkan data-data infiltrasi Yahudi di dalam berbagai struktur AS, menulis sebagai berikut: “26 persen wartawan, analis, pejabat lembaga-lembaga politik sosial, termasuk di dalam pemerintahan AS dipegang oleh Yahudi. 59 persen dari para penulis dan para ahli hukum terbaik di New York adalah orang Yahudi.13 persen dari mereka, di bawah usia 40 tahun, memegang jabatan-jabatan penting di AS. 40 persen dari mereka juga hadir di dalam kongres AS. 7 dari 11 orang anggota Dewan Keamanan Nasional AS adalah Yahudi.
Dengan demikian, selain jabatan presiden, orang Yahudi memegang semua jabatan dan pos-pos sensitif pemerintahan AS.” Yang menarik ialah sekitar 38 persen pegawai pemerintahan AS juga dipegang oleh orang Yahudi, dimana sejumlah besar dari mereka, berada di departemen luar negeri, pertahanan, keuangan dan kehakiman AS, dengan jabatan-jabatan penting, dan mereka pulalah yang memegang rahasia-rahasia pemerintahan dan militer AS. Saat ini hampir 3 juta Yahudi hidup di New York, dan selainnya menyebar di negara-negara bagian yang dikenal penting dan memegang peran kunci di AS. California, Chichago,, Boston, Newjersey, Florida, dan Ohio, adalah negara-negara bagian AS dimana jabatan-jabatan kuncinya di bidang politik dan ekonomi, berada di tangan warga Yahudi Amerika.
Infiltrasi lobi Yahudi di gedung putih termasuk diantara masalah yang tak pernah dapat disembunyikan. Herry Truman, presiden AS di tahun 50-an, menulis di dalam catatan hariannya tentang pengaruh Yahudi di gedung putih sebagai berikut: “Selama tinggal di gedung putih, saya tak pernah melihat tekanan dan propaganda yang sedemikian kuat.” Sementara itu, meskipun masyarakat Yahudi AS menghadapi perselisihan internal, namun satu hal yang selalu menjadi kesepakatan mereka ialah dukungan terhadap rezim Israel. Idiologi dukungan terhadap Israel merupakan ide yang menguasai semua lembaga dan organisasi Yahudi di AS. Seluruh yayasan sosial, baik pusat maupun lokal, menjadikan bantuan kepada Israel seagai program utama dan pertama mereka. Akar ide seperti ini kembali kepada tahun 1897, yaitu saat deklarasi keberadaan zionisme. Para pemimpin zionisme, sejak saat itu, berniat mendirikan sebuah pusat dengan tujuan mencapai kekuatan yang kompak di dunia.
Dari sisi ini, sejak awal abad ke-20, organisasi dan lembaga-lembaga zionis di Eropa dan AS memulai aktifitas mereka. Dan pada saat penyelenggaraan konferensi kedua zionisme pada tahun 1913, gerakan ini berhasil melebarkan pusat-pusat aktifitas mereka dari Eropa ke AS, Asia dan Afrika. Diantara pusat terpenting aktifitas zionisme, ialah “Perwakilan Yahudi” yang saat ini menguasasi lembaga-lembaga zionis di 60 negara. Investasi lembaga-lembaga ini dipenuhi dari berbagai income “Perwakilan Yahudi” ini dan lembaga-lembaga zionis lain, bantuan-bantuan keuangan dari para investor Yahudi, juga dari pajak-pajak wajib. Berdasarkan perkiraan terbaru, saat ini 1/6 (seperenam) dari seluruh masyarakat Yahudi AS merupakan anggota sebuah lembaga resmi Yahudi dinegara ini. Lembaga-lembaga zionis di AS disebut sebagai lembaga Yahudi, dimana tujuan utama mereka ialah pelaksanaan “Program Yerusalem”. Program Yerusalem di susun pada tahun 1968 oleh Persatuan Zionis AS dan Konferensi Dunia Zionisme di AS. Program Yerusalem, menganggap seluruh lembaga Yahudi berkomitmen untuk menyukseskan tujuan-tujuan zionisme. Sudah barang tentu peran dan kedudukan penting kelompok-kelompok Yahudi di AS selalu dalam proses perubahan. Pada awalnya, tujuan-tujuan itu mencakup dukungan-dukungan keuangan dan iuran-iuran yang sepenuhnya materiil. Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan sesuai dengan berbagai keperluan Israel, lobi zionis bekerja dalam menentukan kebijakan politik AS dalam mendukung rezim ini. Dalam hal ini Gold Berg, seorang penulis AS berkata, “Dalam melakukan balas dendam terhadap siapa saja atau lembaga mana saja, yang menghadang di depan mereka atau rezim Israel, warga Yahudi memiliki cara yang tak ada taranya. Siapa pun yang mergaukan hal ini dapat meneliti cerita-cerita tentang beberapa presiden AS yang membangkang terhadap kepentingan Israel.”