Selasa, 26 Agustus 2008

Selamat Menunaikan Ibadah puasa

Buat temen2 ku yg akan menjalankan ibadah Ramadhan tidak lama lagi Mari kita senantiasa Setting NIAT, Upgrade IMAN, Download SABAR, Delete DOSA, Approve MAAF & Hunting PAHALA. Agar Kita Getting GUEST LIST Masuk SURGA-Nya. Pulang ke kampung SURGA Yuuukkk mari ,,, ! Pakai Mobil JIHAD yang Berbahan Bakar ISTIQOMAH, dengan Sopir KEIKHLASAN, Lewat Jalan IMAN,,eettt jangan lupa bawa peta QUR"AN & SUNNAH, juga Bekal TAQWA....Semoga Qta ketemu disana, amin.Kini Ramadhan akan tiba sebulan lagi, dengan kerendahan hati maafkanlah segala kesalahan. MARHABAN YA RAMADHAN. "Allahumma Bariklana fi Rajab wa Sya'bana Wa Balligna Ramadhan" Selamat mempersiapkan diri tuk sambut ibadah puasa 1429 H. Mari kita kuatkan Iman, bersama menyongsong Bulan penuh Rahmah, Maghfirah dan Berkah.

SIMBOL-SIMBOL YANG HARUS DIJAUHI













Islam Liberal : Hawa Nafsu Berkedok Ilmu



"Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa hawa nafsu. Dan menciptakan binatang dengan menyertakan hawa nafsu tanpa akal. Sedangkan Allah menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan hawa nafsu sekaligus. Maka barangsiapa yang ilmunya menguasai hawa nafsu maka dia lebih baik dari malaikat dan barangsiapa hawa nafsunya mengalahkan ilmunya maka dia lebih buruk dari binatang." Demikian Malik bin Dinar t mendudukkan manusia.

Jika malaikat senantiasa taat, itu karena mereka diciptakan tanpa disertai hawa nafsu yang menentangnya, tetapi manusia yang dititahkan disertai hawa nafsu lalu dia mampu menundukkan nafsu dengan ilmunya, maka dia manusia istimewa. Demikian pula halnya, menjadi kewajaran jika binatang hanya makan dan menuruti syahwatnya, karena memang mereka diciptakan tanpa diberi akal.

Tetapi manusia yang diberi akal lalu hanya memperturutkan hawa nafsunya maka binatang lebih baik darinya. Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (al-A’raf: 179)


Ilmu VS Hawa Nafsu

Allah menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan ilmunya, namun setan berusaha menggiring manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya. Ilmu dan hawa nafsu senantiasa berebut untuk meraih hegemoni, selalu bertarung untuk dapat mendominasi jiwa manusia. Yang paling celaka adalah ketika hawa nafsu yang bertahta dalam jiwa manusia, menjadi raja yang menjadi sesembahannya:

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (al-Qashash: 50)

Pertarungan tersebut bukan saja terjadi pada masing-masing jiwa manusia, namun juga membumi. Jika hawa nafsu banyak menguasai mayoritas manusia di bumi, maka bisa jadi hawa nafsu yang memegang kendali dan merajai.

Ibnu Mas’ud pernah berkata di hadapan sahabat dan tabi’in: "Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman di mana kebanaran yang menguasai hawa nafsu, namun kelak akan ada suatu zaman di mana hawa nafsu yang merajai kebenaran."

Rupanya zaman itu sudah sampai. Lihat saja, setiap kali terjadi perang opini, maka pemuja hawa nafsu lebih banyak pendukungnya, para pengumbar nafsu paling banyak dijadikan idola.


Hawa Nafsu Dikemas dengan Ilmu

Proyek meng’hawa-nafsu’kan dunia ditempuh setan dengan banyak cara sekaligus menunjuk arsitek dan para pekerjanya. Di antara cara tersebut adalah membungkus hawa nafsu dengan kedok ilmu. Tugas ini diemban oleh ‘syaithan nathiq’ (setan bicara) yang melegalkan hawa nafsu atas nama ilmu. Dengan kemasan ini, kampanye setan untuk menggolkan hawa nafsu sebagai penguasa sukses dengan kemenangan telak.

Kasus pornografi misalnya. Definisi dan batasan istilah ini diperdebatkan, namun hanya satu tujuan setan, memenangkan opini bahwa ‘tidak ada yang layak dikatakan porno’. Statemen yang paling efektif untuk ini adalah pernyataan bahwa ‘batasan pornorafi itu relatif.’

Cermatilah, bagaimana setan mengajari murid-muridnya untuk berargumen. Ketika seorang model yang suka tampil vulgar ditanya tentang sikap masyarakat yang memandang tabu dan mem’porno’kan gayanya, dia menjawab: "Terserah mereka, tinggal dari sisi mana mereka menilai. Kalau mereka ‘positif thinking’ (husnudzhon) ya mereka menganggapnya baik, tapi kalau sudah ‘negatif thinking’ (su’udzhon) duluan, ya...apa-apa dikatakan jelek." Inilah hawa nafsu yang dikemas dengan ‘ilmu’. Mereka hanya ingin berkelit dari hukum manusia, tetapi mereka tak mungkin bisa lari dari hukuman Allah.

Tidak jarang pula bahkan, orang-orang yang se-tipe dengannya menganggap masyarakat yang anti pornografi sebagai kaum munafik, ‘toh sebenarnya mereka juga demen’, katanya. Tetapi, munafik yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mau taat kepada norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan menghalangi orang-orang darinya, firman Allah:

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa’: 61)


Dilegalkan Para Cendekiawan

Wajar jika pernyataan-pernyataan sumbang seperti beberapa contoh di atas muncul dari orang-orang yang notabene memang jauh dari bangku pondok pesantren, atau jarang mencicipi pengetahuan agama. Yang aneh adalah orang-orang yang ditokohkan dalam hal agama ikut-ikutan pula mempromosikan hawa nafsu berkedok ilmu. Tentunya dengan gaya yang lebih Islami, bumbu-bumbu dalil, ramuan ushul fikih plus argumentasi yang runtut.

Terutama mereka yang berada dalam jajaran Islam liberal. Untuk menghalalkan segala hal, mengkampanyekan budaya serba boleh dan ‘anti haram’, banyak ungkapan nyleneh yang dikuatkan dalil-dalil. Seperti pernyataan ‘Fikih islam tidak cukup untuk memahami seni’, atau ‘akal adalah rasul Allah di muka bumi’ atau menggunakan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun yang dituju hanya satu ‘tidak ada yang haram’, karena menurut mereka keharaman itupun juga relatif, tinggal dari sisi mana orang melihat.


Al-Qur’an Sesuai di Setiap Waktu dan Tempat

"Kalimatul haq uriida biha al-bathil’, pernyataan yang benar namun dipakai untuk maksud yang bathil. Ungkapan ini sepertinya pas ditujukan untuk orang-orang Islam Liberal yang memiliki ‘track record’ menghalalkan yang sudah jelas haram dengan dalih Al-Qur’an sanggup menjawab persoalan di setiap zaman, atau Islam bisa sesuai dengan kondisi kapanpun.

Ungkapan ini benar, namun tuan-tuannya penganut JIL terbalik dalam terapannya. Mereka merubah alat ukur sebagai yang diukur, sedangkan yang mestinya diukur malah dijadikan alat ukur. Mereka justru memaksa Al-Qur’an untuk membolehkan sesuatu yang haram karena sudah terlanjur mengakar dan mengkondisi di masyarakat. Seakan mereka berkata ‘karena zaman sudah seperti ini, maka ini dan itu diperbolehkan’. Dalilnya? Islam cocok untuk setiap kondisi dan zaman, katanya.

Padahal posisi yang tepat untuk ungkapan tersebut adalah bahwa dalam kondisi apapun syari’at Islam secara komprehensip sesuai untuk diterapkan. Umat akan baik selagi mereka mau mengambil petunjuk darinya dalam setiap perkataan dan perbuatan. Inilah maksud hadits Nabi:

"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama, selagi berpe-gang dengan keduanya, yakni kitabullah dan sunnah Nabi-Nya." (HR Malik)


Ilmu yang Sebenarnya

Gaya bicara dan retorika berargumen jubir pemuja hawa nafsu memang membuat kita silau. Terkesan cerdas, logis dan ilmiah. Apalagi jika dalil Al-Qur’an sesekali menjadai alat legitimasi dari pendapatnya, gelaran cendikiawan muslim serta merta melekat di jidatnya. Fenomena ini telah digambarkan juga oleh Ibnu Mas’ud sekaligus solusi untuk menghadapinya. Beliau katakan: "Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum yang mengaku menyeru kalian kepada Kitabullah padahal sesungguhnya mereka membuang Al-Qur’an di belakang punggung mereka, maka hendaknya kalian berpegang kepada ilmu…dan hendaknya kalian mengikuti para salaf (sahabat hingga tabi’ut tabi’in)."

Dengan ilmu, kita mengenali kecurangan orang yang hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat legitimasi untuk melegalkan hawa nafsu sebagaiman kita mengenali kebenaran. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ‘ulumus syar’i al-muruts ‘anin Nabi’, ilmu syar’i yang diwariskan oleh Nabi saw. Sedangkan yang paling paham tentangnya adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama berikutnya yang setia dengan jalan yang telah ditempuh oleh mereka. Iniah jalan selamat dari tipu daya para ‘jurkam’ hawa nafsu, wallahul musta’an (Abu Umar Abdillah/ Majalah Ar-risalah

Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal

Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada?
Oleh: M. Shiddiq al-Jawi


Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong.

Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).

Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:

(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.

(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.

(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).

(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).

Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?

Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.

Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com).

Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).

Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:

(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);

(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);

(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).


Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?

Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.


Paradigma Ushul Fikih Liberal

Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.

Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.

Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.

Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:

Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).

Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.

Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).

Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.


Penutup

Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]



Daftar Pustaka

1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.

2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.

3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.

4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.

5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan

6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.

7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.

8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.

9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” www.islamlib.com

10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” www.insistnet.com

11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.

12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacanalazuardi Amanah.

13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

AGAMA

Agama
oleh Hamid Fahmy Zarkasyi *


Defenisi agama di Barat terus menjadi polemik. Di Indonesia, para santri sudah mengatakan, "Semua Agama Sama". Boleh jadi, besuk akan ada kiai yang mengatakan, "Yesus Tuhan kita juga"

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat ’s like Religion”. iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Di situ terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporter nya yang fanatic. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan di bawahnya Manchester United Sepak bola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s lake religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu dipasang di jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu.

Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadna ilaahahu hawaahu (QS.25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus.

Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah “apa yang kita lakukan adalah kesendirian”. Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yng punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matrik kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak difahami kecuali dengan matrik kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi rasa berkebutuhan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justeru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual.

Para psikolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat –Kristen– kata Amstrong dalam History of God justeru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan.

Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, manusia dan lain-lain telah jelas. Konsep-konsep selanjutnya hanyalah penjelasan dari konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) terpaksa menggusur manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.

Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam Al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut.

Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan ke dalam devinisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is not longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia ‘tidak boleh’ menjadi tiran, ‘tidak boleh’ ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.

Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Malu mengatakan it’s really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendikiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak ”politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”…”money politik la siyyana”

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung!” kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi” kata Profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “ya Akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”.

”Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslimpun diajari logika realitas “jangan ada yang menganggap agamanya paling benar”. Para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus, pluralisme seperi juga sekularisme dianggap hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “kalau Anda tidak pluralis pasti anda teroris”.

Kini agar menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology—nya F. Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syari’ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan me mbayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.*

*) Pemimpin Redaksi ISLAMIA, majalah pemikiran dan peradaban Islam. Penulis kini menyelesaikan S3 nya di ISTAC (International Islamic Thought and Civilization), KL.
Kajian Pemikiran Islam Oleh : Redaksi 02 Dec 2004 - 7:45 pm


oleh Hamid Fahmy Zarkasyi *
Defenisi agama di Barat terus menjadi polemik. Di Indonesia, para santri sudah mengatakan, "Semua Agama Sama". Boleh jadi, besuk akan ada kiai yang mengatakan, "Yesus Tuhan kita juga"

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat ’s like Religion”. iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Di situ terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporter nya yang fanatic. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan di bawahnya Manchester United Sepak bola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s lake religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu dipasang di jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu.

Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadna ilaahahu hawaahu (QS.25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus.

Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah “apa yang kita lakukan adalah kesendirian”. Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yng punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matrik kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak difahami kecuali dengan matrik kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi rasa berkebutuhan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justeru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual.

Para psikolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat –Kristen– kata Amstrong dalam History of God justeru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan.

Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, manusia dan lain-lain telah jelas. Konsep-konsep selanjutnya hanyalah penjelasan dari konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) terpaksa menggusur manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.

Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam Al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut.

Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan ke dalam devinisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is not longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia ‘tidak boleh’ menjadi tiran, ‘tidak boleh’ ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.

Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Malu mengatakan it’s really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendikiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak ”politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”…”money politik la siyyana”

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung!” kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi” kata Profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “ya Akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”.

”Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslimpun diajari logika realitas “jangan ada yang menganggap agamanya paling benar”. Para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus, pluralisme seperi juga sekularisme dianggap hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “kalau Anda tidak pluralis pasti anda teroris”.

Kini agar menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology—nya F. Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syari’ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan me mbayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.*

*) Pemimpin Redaksi ISLAMIA, majalah pemikiran dan peradaban Islam. Penulis kini menyelesaikan S3 nya di ISTAC (International Islamic Thought and Civilization), KL

Kecerobohan Intelektual



Munculnya intelektual yang pendapat-pendapatnya disebarluaskan ke public yang menyesatkan bila dibiarkan akan melahirkan para intelektual yang jahil.

Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah kelompok bernama ?Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah?, disingkat JIMM. Adalah sesuatu yang menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah, semangat untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan Islam. Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya peran ilmu dalam kehidupan manusia. Karena itu, kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Orang-orang yang berilmu, yang disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang yang pintar tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang jahat (ulamaa? al-suu?), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya salah, maupun ulama yang perilakunya jahat.

Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.? (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).

Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, "Saya belum tahu".

Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat perbuatannya.

Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam?.

Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:

1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.?

Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang baik??

Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang," katanya.

Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.?

Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!

Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3).

Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.?

Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.

2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.

Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.? Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.

Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai ?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.

Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah.

Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.

Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.

3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.?

Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul ?Naqd al-Khitab al-Diiniy?, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.

Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?, mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.

Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.

Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!

Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan ?intelektual? dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a'lam.

KELOMPOK LIBERAL ITU AGEN PENJAJAH

KELOMPOK LIBERAL ITU AGEN PENJAJAH
KH. M. Shiddiq al-Jawi


Saat ini di tengah kita muncul kelompok liberal. Mereka menyerukan ide-ide liberal yang dibungkus dengan nama Islam. Tidak jarang mereka mengutip dalil dan pernyataan para ulama untuk mendukung ide mereka. Hal itu akan dapat membingungkan umat dan bisa membawa mereka ke alam pemikiran liberal. Namun, sayang, sebagian dari umat masih belum menyadari bahaya itu, dan belum mengenali jatidiri, motif, tujuan dan hal-hal berkaitan dengan kalangan liberal dan agenda mereka.

Untuk mengupas masalah ini, kami menghadirkan wawancara singkat dengan KH. M. Shiddiq al-Jawi, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY.

Ustadz, belakangan muncul kelompok liberal semisal JIL yang getol menyerukan ide-ide liberalisasi Islam. Bagaimana Ustadz memandang fenomena ini?

Menurut saya, fenomena ini harus dipandang dari dua sisi, sisi ideologis dan politis. Secara ideologis, kaum liberal bertujuan menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat. Ini dari perspektif ideologis. Kalau dari sisi politis, JIL dan semacamnya adalah alat politik Barat untuk mendominasi umat Islam. Mengapa bisa begitu? Sebab, faktanya, kekuatan politik yang mendominasi dunia adalah Barat yang sekular, sedangkan JIL itu kan ideologinya juga sekular. Klop, kan? Kesamaan ideologi ini jelas akan memunculkan kesamaan visi, misi, dan agenda. Di posisi ini kaum liberal itu sebenarnya adalah agen penjajah. Mengapa? Sebab, penjajah selalu ingin agar umat Islam mengikuti Barat dalam segala hal. Tapi, itu sulit terjadi karena bagaimanapun merosotnya, umat Islam masih tidak mau mempraktikkan sesuatu kalau tidak mendapat pengesahan agama. Maka di sinilah, kaum liberal datang untuk membujuk umat agar mau mengikuti peradaban Barat itu, dengan memperalat agama Islam sebagai landasan pembenarannya. Itulah kerjaan kaum liberal.

Mengapa bisa muncul kelompok semacam ini di tengah-tengah umat ini, Ustadz?

Masyarakat kita sekarang ini kan cenderung sekular dan liberal. Maka kalau ‘habitat’-nya demikian, wajar kalau lahir kaum liberal. Maksud saya, dalam konteks sekarang, kemunculan kelompok liberal justru banyak difasilitasi dan dipicu oleh sistem yang ada, seperti sistem politik, ekonomi, dan pendidikan. Semuanya adalah impor dari Barat sekular. Masalahnya, semua sistem itu tak akan bisa berjalan baik tanpa budaya yang sekular juga. Nah, yang ada dalam sistem-sistem itu baru prosedur formalnya, tanpa budaya sekularnya. Di sinilah kaum liberal lalu lahir guna menanamkan budaya sekular agar sistem sekular itu bisa berjalan baik. Dalam bahasa mereka, sekarang ini yang ada baru ‘demokrasi prosedural’ semisal tahapan Pemilu, belum disertai ‘demokrasi substansial’ seperti kebebasan berpendapat. Nah, kaum liberal ingin agar sistem sekular yang ada menjadi kâffah, yaitu bukan sekular sebatas prosedur formal, tapi juga disertai budayanya. Itulah hakikat demokratisasi yang jadi tujuan mereka.

Dalam sejarah, untuk menghancurkan Khilafah dan menghadang Islam, Barat sering menggunakan antek-antek mereka dari kalangan kaum Muslim sendiri. Apakah kemunculan kelompok Muslim liberal ada hubungannya dengan makar Barat itu, Ustadz?

Hubungannya jelas ada. Begini. Pada prinsipnya, kan Barat itu punya satu metode khas untuk menyebarkan ideologinya di negeri-negeri Islam, yaitu penjajahan; bisa militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Setelah menjajah, mereka mengeksploitasi. Itu pasti. Untuk masing-masing bidang penjajahan itu, Barat punya agennya sendiri-sendiri dari kalangan umat Islam yang berkhianat. Nah, kaum liberal itu adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang bergerak di bidang pemikiran atau ideologi. Tujuannya adalah menghancurkan Islam di satu sisi dan memenangkan sekularisme di sisi lain.

Ada penelusuran dari sebagian pihak bahwa di balik fenomena Muslim liberal itu kental unsur uang (materi). Menurut Ustadz, apa motif mereka?

Saya kira benar. Konon draft CLD KHI dibiayai The Asia Foundation sebesar Rp 6 miliar. JIL sendiri mendapat support dana The Asia Foundation sebesar Rp 14 miliar pertahun. Jadi, ada simbiose mutualisme di sini. Sebab, Barat itu kan ingin mensekularkan umat Islam. Lagi pula, mereka punya banyak uang hasil dari mengeksploitasi umat Islam. Tapi, saya kira, uang bukan satu-satunya motif. Ada motif lainnya, semisal motif ketenaran, motif ilmiah, dan mungkin, motif spiritual. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan, JIL ingin mewujudkan “sekularisme yang mantap dan spiritual yang kokoh.” Saya pikir, ini cukup menggelikan dan agak gila. Sebab, spiritualitas macam apa yang bisa diwujudkan dalam tatanan sekularisme? Di Barat yang sekular saja banyak kaum muda yang tidak pernah ke gereja.

Menurut saya, motif utama kaum Muslim liberal itu adalah motif ideologis. Sebab, ideologi Kapitalisme sekular tampaknya memang telah merasuk ke dalam jiwa mereka. Contohnya isu sekularisme. Kaum liberal sangat fanatik dan tergila-gila dengan sekularisme. Bahkan, di situs mereka dikatakan bahwa sekularisme itu berkah bagi agama-agama, karena, katanya, sekularisme bisa meredakan berbagai ekses jika agama dan negara menyatu. Padahal setelah menjadi sekular, Barat tidak menjadi lebih baik. Sains dan teknologi Barat memang lebih maju. Akan tetapi, secara moral, apa lebih baik? Secara spiritual, apa lebih hebat? Nggak, kan. Setelah ada sekularisme, dunia makin mengerikan dan hancur-hancuran, karena ada imperialisme, Perang Dunia I dan II, pemboman Hiroshima dan Nagasaki, dan sekarang kebijakan unilateral (satu kutub, red.) AS yang arogan di Afghanistan dan Irak. Apa itu lebih baik? Kaum liberal pura-pura tak tahu semua itu, dan karena fanatik, seenaknya berkata, “Sekularisme berkah bagi agama.” Nah, fanatisme yang ekstrem terhadap sekularisme inilah yang hendak mereka tularkan kepada generasi muda Islam. Saya lihat ini motif utamanya.


Apakah mereka itu sudah bisa dikategorikan pengemban ide Barat dan ideologi Kapitalisme, Ustadz?

Saya kira, benar. Mereka bisa digolongkan sebagai pengemban ideologi Kapitalisme, bukan pengemban ideologi Islam. Islam hanya dijadikan ‘kosmetik luar’ saja. Di bagian dalamnya adalah ideologi Barat. Jadi, segala macam pemikiran kaum liberal harus dikategorikan sebagai pemikiran bukan Islam. Sangat tidak betul kalau ada anggapan ide-ide mereka merupakan bagian dari khazanah pemikiran atau pemahaman Islam. Sebab, berbagai mazhab atau aliran dalam Islam, walau pun berbeda-beda pemahaman cabangnya, tetap sepakat akan hal-hal pokok dalam akidah dan syariat Islam. Kaum liberal seperti JIL tidak sepakat. Dalam masalah akidah, mereka mengadopsi teologi inklusif yang mengatakan semua agama benar. Apa itu masih bisa dianggap akidah Islam? Dalam hal syariat Islam, JIL secara ekstrem dan sombong mengatakan, syariat Islam itu tidak ada. Syariah hanya karangan ulama belaka, atau yang ada hanya sunnatullah (hukum alam, red.). Subhanallâh...Coba, apa ada mazhab yang menolak eksistensi syariat Islam seperti itu? Nggak ada, kan?


Ustadz, ada dari mereka yang alumni pesantren, Perguruan Tinggi Islam, bahkan sebagian mereka lulusan Timur-Tengah, di antaranya Al-Azhar. Menurut Ustadz, mengapa mereka bisa terpeleset seperti itu?

Dalam hal ini, kaum liberal memang ada yang sebelumnya mempunyai pengetahuan Islam yang luas. Ilmu kalam, fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan macam-macam lah. Tapi, semua itu dipelajari secara dogmatis, tanpa daya pikir kritis, dan cenderung dalam bentuk hapalan. Akibatnya, hati sebenarnya tidak puas. Sebaliknya, ketika bersentuhan dengan ide Barat, mereka memikirkannya secara sadar, tahu benar berbagai argumentasinya, latar belakangnya, dan seterusnya; lalu mereka mengadopsinya secara sepenuh hati. Maka di sinilah, mereka terpeleset. Lalu terjerembab.


Apakah ada yang salah dalam proses pembelajaran Islam mereka? Lalu proses pembelajaran Islam itu seharusnya bagaimana, Ustadz?

Ya, ada yang salah. Sebab, mereka menerima Islam bukan secara rasional, tetapi secara dogmatis. Ketika belajar Islam, proses berpikir yang cerdas tidak difungsikan. Mungkin karena literatur Islam yang mereka baca tidak cukup argumentatif. Sebaliknya, mereka menerima ideologi Barat secara sadar, melalui proses berpikir yang rasional. Menurut saya, pembelajaran Islam harus memenuhi 3 aspek. Pertama, harus rasional, maksudnya pengkajian materi ajaran Islam harus melibatkan proses berpikir bagi pengkajinya, bukan bersifat dogmatis atau doktriner. Kedua, harus ada pembenaran terhadap materi yang dikaji itu. Artinya, materi yang dikaji hendaknya menjadi keyakinan, bukan sekadar pengetahuan. Ketiga, materi yang dikaji harus praktis, bukan teoretis yang tidak ada faktanya dalam kenyataan empiris.


Menurut Ustadz, keberadaan kelompok Muslim liberal itu bermanfaat atau justru berbahaya bagi umat?

Mungkin pertanyaan yang tepat begini: seberapa jauhkah bahaya kelompok liberal bagi umat? Begitu. Jadi, tidak relevan membicarakan manfaat kaum liberal bagi umat. Sebab, apa manfaatnya ide-ide mereka yang justru hendak menghancurkan akidah dan syariat Islam? Nggak ada, kan? Pemikiran mereka itu seperti ‘kanker ganas’ dalam tubuh umat Islam. Kanker itu sangat berbahaya, nggak ada gunanya sama sekali.


Lalu bagaimana kita meng-counter pemikiran kalangan liberal dan ide-ide mereka itu?

Untuk menghadapi mereka, saya pikir ada dua langkah. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat. Intinya, ide mereka dalam satu masalah harus dibongkar kebobrokannya, dan di sisi lain harus dijelaskan bagaimana konsep Islam yang sahih dalam masalah itu. Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk membongkar posisi mereka sebagai antek-antek penjajah yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan mengokohkan sekularisme di Dunia Islam. Umat harus tahu dan sadar, kaum liberal itu bergerak untuk kepentingan penjajah, bukan demi kemaslahatan Islam. Kalau kaum liberal mengklaim mereka hendak memajukan Islam dan umat Islam, itu adalah omong-kosong dan hanya bualan saja. Dengan dua langkah itu, umat akan tahu apa dan bagaimana pemikiran kaum liberal itu, sekaligus tahu siapa-siapa mereka itu. Dengan begitu, umat bisa memblokir ide-ide mereka, dan mengucilkan para pengembannya. Dua langkah tersebut harus kita lakukan sejak sekarang.


Bagaimana kita menyelesaikan masalah ini secara tuntas, Ustadz?

Agar tuntas, dua langkah tadi harus ditambah satu lagi, yaitu jalur hukum (al-qadhâ‘). Maksudnya, jalur peradilan dalam negara Khilafah nantinya. Kalau mereka tidak mau berhenti, mereka bisa diadukan kepada hakim sebagai komplotan yang menyebarkan kekafiran, mengajak orang murtad, dan berkolaborator dengan penjajah. Peradilan nanti yang akan mengambil sanksi tegas atas mereka.


Biodata:
M. Shiddiq Al-Jawi, lahir di Grobogan (Jateng) 31 Mei 1969. Setelah lulus SMA 1 Pekalongan 1988, beliau masuk IPB tanpa test (PMDK). Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Imdad (1989-1991) dan Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor (1992-1994). Pada periode 1990-1991 beliau menjadi Ketua Umum Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB. Setelah lulus IPB 1997, beliau terjun di bidang pendidikan, penulisan, dan penerjemahan. Pada 1997-1998 dan 1999-2000 beliau menjadi staf pengajar almamaternya; Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor. Sejak tahun 1999 menjadi staf peneliti Shariah Economic and Management (SEM) Institute Jakarta. Beliau telah menghasilkan sekitar 150 artikel keislaman, 4 buku, 10 karya terjemahan, dan 5 karya editan. Saat ini bekerja sebagai dosen STEI Hamfara dan LPI (Lembaga Pendidikan Insani) Yogyakarta, sambil menyelesaikan tesis pada program pascasarjana Magister Studi Islam UII, Yogyakarta. Di HTI, ia menjadi Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY. Beliau menikah dengan Ir. Lusiani Udjianita dan dikaruniai dua anak: Atina Fahma Rosyada dan Fauzi Saifurrahman. (HT Hiwar Al-Waie 58)

Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis

Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi


Beberapa kelompok dari Islam Liberal melakukan usaha rehabilitasi ‘kecurigaan’ dalam acara Natal yang terjadi tiap tahun. Sayang usaha itu melahirkan ‘sinkretisme teologis’

Meski sudah lewat, ada catatan-catatan penting menyangkut perayaan Natal kemarin. Tulisan ini mencermati artikel dua orang aktifis Islam Liberal. Pertama, artikel yang ditulis oleh Mohammad Guntur Romli di www.islamemansipatoris.com (JIE/red) (27/12/2004) dengan judul “Natal dan Pesan Dialog Agama”. Kedua, adalah artikel Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat di www.islamlib.com (JIL/red) (27/12/2004) dengan judul “Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal”.

Guntur, yang juga mahasiswa Al Azhar, saat itu mengatakan, “Saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”, demikian kutipnya.

Ini juga terjadi pada tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Ia bahkan ingin menciptakan model ta’âruf Qur'ani. Hanya saja, ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya, ia menganjurkan kawin campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, Natal dan bid`ah. Akibatnya, kedua penulis terjebak dalam ‘sinkretisme teologis’.

Poin penting dari tulisan Mohammad Guntur Romli dan Ulil Abshar yang akan saya tanggapi adalah;
(1) Kehadiran Tuhan,
(2) Penyaliban Yesus,
(3). Al-Qur’an bukan “Kitab Pembatal” dan
(4) bid’ah Natal.

Pertama, menyangkut kehadiran Tuhan.

Penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak dianggap detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Firthjof Schuon dalam bukunya ‘Filsafat Parenial’ sangat kurang tepat.

Kristen dan Islam memiliki same platform (kalimah sawâ’), bukan common platform (kalimah musytarakah) yang selama ini disalahpahmi oleh beberapa kaum pluralis. Karena inti ajaran (akidah) Kristen dan Islam pada dasarnya adalah monoteisme (Tauhid), bukan kehadiran Tuhan. Hal ini dapat kita temukan baik dalam Perjanjilan Lama (Old Testament) maupun Perjanjian Baru (New Testament).

Sebagai contoh dapat dilihat dalam Perjanjian Lama; (1) Tuhan itu Allah, tidak ada yang lain (Ulangan 4: 35); (2) Akulah yang pertama dan yang terakhir, tidak ada tuhan selain Aku (Yesaya 44: 6); (3) Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Tuhan Yang Esa di dalam Taurat (Keluaran 8: 10); (4) Allah melarang membuat patung-patung atau berhala-berhala untuk disembah (Lawi 19: 4) dan (5) Nehemia dalam munajatnya berkata: “Engkaulah Tuhan yang Maha Esa!” (Nehemia 9: 6).

Sedangkan dalam Perjanjian Baru, misalnya; (1) Lalu guru agama itu berkata kepada Yesus, "Tepat sekali, Bapak Guru! Memang benar apa yang Bapak katakan: Tuhanlah Allah yang esa, dan tidak ada lagi Allah yang lain (Markus 12: 32) [Yasir Anwar, Alâm al-Masîh 2004: 17]; (2) Allah tidak bisa dilihat (Yohanes 5: 37); (3) Iblis meminta Yesus untuk menyembahnya, kemudian –saat itu—Yesus menyuruhnya pergi, karena sudah tertulis bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disembah (Matius 4: 10); (4) Yesus menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata; Inilah hidup yang kekal, supaya mereka mengenal-Mu, Tuhan yang sesungguhnya dan Yesus yang Engkau utus (Yohanes 17: 3); (5) Di dalam surat Paulus kepada penduduk Roma; Karena Allah itu satu (Roma 3: 30) dan lainnya (Dr. Muhammad Ahmad al-Hâjj, al-Nashrâniyah min al-Tawhîd ilâ al-Tatslîts, 2002: 69-74).

Di samping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Firthjof Schuon di atas kurang representatif, karena dia seorang filosof, bukan seorang teolog. Tentu saja seorang teolog lebih mumpuni di dalam memahami ajaran agama tinimbang seorang filosof, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang filosof juga merangkap seorang teolog.

Dalam hal ini Leibniz (1646-1716) lebih mumpuni tinimbang Schuon. Sehingga Leibniz lebih dikenal dengan terma Theodicy-nya. Maka, kesamaan platform (same platform) Kristen dan Islam, terletak pada monoteisme, bukan kehadiran Tuhan.

Kedua, Penyaliban Yesus.

Adalah hal yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus di tiang salib merupakan hal yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyâs ma`a al-fâriq bâthil. Sama halnya dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketika menyatakan bahwa makna nuzul dalam Islam sama dengan nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan, nuzul dalam Islam dalam bentuk Al-Qur’an, sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan qiyas antara Al-Qur’an dengan Injil. Dan itu lebih rasional. Penulis kira Injil juga nuzul dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari Allah?

Dalam Islam ada ajaran kurban (al-‘udlhiyah) pada hari raya `Idul Adlha, bukan jihad seperti yang ditulis Guntur. Selain itu, jihad bukan sampai darah penghabisan. Dalam Islam dijelaskan bahwa jihad itu sampai target jihad tercapai. Kalau sudah tercapai tidak perlu sampai darah penghabisan, itu namanya mati konyol. Dalam Al-Qur’an hal itu sudah tampak gamblang diterangkan oleh Allah swt (Qs. 2: 19-193), belum lagi dalam Hadits Nabi SAW.

Ketika ada yang menyatakan bahwa umat Islam tidak bisa menolak ajaran Penyaliban Yesus, dengan alasan dalam Islam ada syafa’at karena dipandang sama-sama berbentuk pengampunan. Jelas wacana seperti ini bisa dikatakan “jauh panggang daripada api”. Kita tidak boleh hanya mementingkan hal yang sifatnya sekunder, semacam kerukunan beragama, namun terpaksa mengorbankan garis akidah yang jelas. Sumber ajaran (akidah) adalah kitab suci. Karenanya, penyaliban harus dilihat dari kitab suci (Bibel) dan Al-Qur’an. Jadi tidak bisa hanya lewat rasio (akal) yang memiliki kemampuan yang terbatas (limited ability).

F. Kenyon dalam bukunya The Bible and The Ancient Manuscripts pada halaman 48 memuat kisah ‘Penyaliban Yesus’ yang tercatat dalah Injil Markus. Kenyon menyatakan bahwa dalam pandangan prioritas kronologisnya, Markus harus diletakkan pada sumber pertama episode ini.

Tetapi riset modern membuktikan, bahwa dua belas ayat (mulai ayat 9 sampai 20) yang terdapat di bagian terakhir Injil itu adalah palsu dan tidak ditemukan di manuskrip-manuskrip tertua. (baca Dr. Hamid Qadri, Dimension of Christianity (Terj) Masyhur Abadi & Lis Amalia R; “Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen”, 2004: 61).

Kiranya sumber doktrin yang sudah mengalami distorsi tidak bisa dijadikan sebagai landasan ide dan pemikiran. Perlu ditambahkan bahwa dalam Injil sendiri masih terdapat kesimpangsiuran dalam kisah Penyaliban Yesus.

Sebagaian mengatakan penyaliban adalah hal yang dilarang. Menurut syariat Yahudi menyebut, "Setiap yang disalib di atas kayu (tiang salib) terlaknat." Dalam teks dari kitab Ulangan juga menyebutkan, “Apabila seseorang telah dihukum mati karena suatu kejahatan, dan mayatnya digantung pada tiang, mayat itu tidak boleh dibiarkan di situ sepanjang malam, tetapi harus dikubur pada hari itu juga. Mayat yang tergantung pada tiang mendatangkan kutuk Allah... (Kitab Ulangan 21: 22-23)

Masih banyak kesimpangsiuran yang lain. Di setiap bagian dalam Injil, Al-Masih tidak mengatakan, "Niscaya aku akan disalib." Namun ia senantiasa berbicara dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). "Niscaya anak manusia akan disalib, akan dibunuh".

Nyata sekali bahwa penggunakan kata ganti 'orang ketiga' di sini bukan secara serampangan (sembarangan), namun merupakan tujuan yang sudah pasti dalam membicarakan 'seseorang yang tidak hadir namun ada, atau yang ada orangnya namun tidak hadir (di saat itu)'. Maka sosok yang sebenarnya (Al-Masih) dalam keadaan tidak ada (al-ghâ'ib) dan orang yang disalib (al-mashlûb) adalah orang yang mirip dengan Al-Masih (syabîh al-masîh) dalam kedaan hadir.

Karenanya, tidak mungkin kata ganti yang lain menjelaskan perkara ini, kecuali kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). Dan satu-satunya perkataan Al-Masih yang menggunakan orang pertama adalah, “Wa hîna u'allaqu marfû'an min al-arhdi, adzdibu al-jamî'”. (Kalau aku sudah ditinggikan di atas atas bumi, aku akan menarik semua orang kepadaku (Yohanes 12: 32).

Dalam hal ini, beliau tidak ada sedikitpun menunjukkan tentang salib, sebagaimana terjemahan dalam bahasa Arab 'u'allaqu tidak benar. Karena dalam bahasa Inggris 'lifted up', bermakna 'diangkat', bukan digantungkan ('u'allaqu). Maka tidak ada perselisihan diantara kita bahwa Al-Masih telah diangkat ke langit dalam keadaan hidup atau mati.

Adalah sesuatu yang bijak jika kita mempelajari sebuah doktrin agama langsung kepada sumber aslinya (primary refence). Penebusan dosa dalam Islam tidak lewat syafaat, melainkah lewat istighfar (memohon ampun) kepada Allah. Bukankah Nabi saw mengajarkan umatnya untuk meperbanyak istighfar? Karena syafaat bukan untuk semua manusia, melainkan bagi mereka yang berdosa. Sedangkan dalam Kristen, orang seluruhnya sudah diampuni dosanya cukup dengan mengakui bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Menurut Marthin Luther, tidak rasional dan salah fatal menyamakan penebusan dosa dengan Penyaliban Yesus Kristen yang sampai hari ini masih mengandung kontroversial di kalangan Kristen sendiri.

Maka cukup beralasan jika Al-Qur’an menyatakan wamâ qatalûhû wamâ shalabûhu walâkin syubbiha lahum.

Pernyataan kaul liberal yang mengatakan bila Yesus merupakan “kalimat” dan “ruh Allah” adalah kesalahan fatal yang perlu diluruskan. Al-Qura’n tidak pernah menjelaskan hanya dengan “ruh” dan “kalimat Allah”. Allah senantiasa menggandengkan kata “ruh” dengan kata “minhu”. Begitu juga dengan “kalimat”, selalu disandingkan dengan kata ganti (dhamîr) hu, sehingga menjadi kalimatuhû. Hal ini dapat dibaca dalam QS. 4: 171, “Innama al-Masîhu `Isa bnu Maryam Rasûlullâhi wa kalimatuhû alqâhâ ilâ Maryam wa Rûhun minhu (Sesungguhnya Al Masih `Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya). Jelas berbeda antara “ruh Allah” dengan “ruh dari Allah”.

Ketiga: Al-Qur’an bukan “Kitab Pembatal”?

Ulil Abshar Abdalla juga sempat menyinggung bahwa Al-Qur’an bukanlah “Kitab Pembatal”. Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran (truth claim) merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, salah satu tindakan yang salah adalah klaim buta (blind claim). Itulah yang tidak dapat diterima.

Klaim-klaim buta yang tidak berdasar merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Pernyataan Ulil bahwa Al-Qur’an bukan ‘Kitab Pembatal’ harus dilihat kembali dengan kritis. Yesus hadir (diutus) ke dunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia hanya melengkapi (menggenapi) hukum Taurat yang dibawa oleh Musa (Matius 5: 17-18). Maka, Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus Taurat, meskipun datangnya belakangan. Ia hanya bisa disebut sebagai ‘mushaddiq’ (pembenar). Lain halnya dengan Al-Qur’an, meskipun Al-Qur’an turun bukan sebagai ‘Kitab Pembatal” --namun ia merupakan penghapus beberapa hukum Taurat--, tapi ia (Al-Qur’an) turun sebagai pembenar (mushaddiq) sekaligus muhaimin `alaihi (batu ujian). Hal-hal inilah yang sering luput dari pengamatan kaum liberal seperti Guntur dan Ulil.

Al-Qur’an merupakan filter akidah dan ayat-ayat yang ada dalam kitab yang turun lebih dulu (Taurat dan Injil). Dengan demikian, Al-Qur’an pada intinya merupakan kitab ‘pembatal’, meskipun bukan pembatal seratus persen. Sebut saja cara bertobat. Umat zaman dahulu kalau bertobat harus bunuh diri (Qs. 2: 54), dalam Islam tentu tidak seperti itu, cukup dengan taubat; tidak perlu sampai membunuh diri. Dan yang tidak dihapus itu adalah doktrin monoteisme (Tauhid). Itulah yang disebut dengan same platform (kalimah sawâ’). Meskipun tampaknya hanya Islam (saat ini) yang berpegang teguh pada kalimah sawâ’ ini.

Keempat: bid`ah Natal.

Ada hal penting yang harus ketahui dalam masalah bid`ah. Pertama, bid`ah itu terbagi dua, pertama bid`ah dalam kebiasaan (adat) dan kedua, bid`ah dalam agama (al-dîn). Bid`ah dalam bentuk pertama dibolehkan, karena asal (dasar) dari segala sesuatu itu adalah boleh (al-ibâhah). Sedangkan bid`ah dalam agama adalah haram, karena pada dasarnya adalah al-tawqîf (berdasarkan penjelasan Nabi saw berdasarkan wahyu dari Allah swt).

Kata Nabi, "Man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak.

Contohnya adalah menghadiri perayaan Natal. Karena perayaan Natal bersama juga merupakan bid`ah yang dilarang oleh agama. Karena Natal merupakan salah satu hari besar dalam agama Kristen, jelas menghadirinya tidak boleh dan dilarang keras oleh agama.

Ibnul Qayyim al Jauziyah di dalam bukunya As-Syarhus Syuruth Al Umariyah, mengutip sebuah sabda Nabi saw, “Laa tadkhuluu `alaa ha’ulaai al-mal`uuniin illaa antakuunuu baakiina. Fainlam takuunuu bakiina falaa tadkhuluu `alaihim, an yushibakum mitslu maa ashabahum (Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilaknat oleh Allah kecuali dengan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinnya, karena nanti kamu akan tertimpa (azab) seperti yang diterima mereka).”

Dalam kitabnya, “Iqtidlaa ‘ash Shirathil Mustaqim Mukhaalifata Ashhaabil Jahim” , Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab ra. pernah menyatakan, “Ijtanibuu a`daa’allaahi fii `idihim (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).

Kaum non-muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma` sahabat dan disepakai jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan Natal bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masayarakat Muslim—adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka”.

Secara realita, di Indonesia tidak pernah ada pihak yang dirugikan seandainya agama-agama lain (Islam, Hindu dan Budha) tidak menghadiri ‘Perayaan Natal Bersama’. Apakah dengan tidak hadirnya umat Islam akan dianggap Islam tidak toleran? Atau Perayaan Natal tersebut kurang khidmat dan tidak khusyuk? Sehingga dapat mengurangi makna Natal itu sendiri. Karena umat Islam pun tidak pernah ribut ketika melaksanakan Idul Fithri dan Idul Adlha meski umat lain tak menghadiri.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir

Paham Liberal : Menjual Islam demi Dolar

Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA , Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam

Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Untuk menangkal paham liberal, umat Islam harus mampu melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim.

Adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo yang lantang mengemukakan hal ini. Peraih gelar doktor bidang fiqih dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini, tanpa beban, menyatakan ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar, itu kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme.

Setelah laporan dari wartawan-wartawan Sabili yang ditugasi mewawancarai sejumlah narasumber terkait paham liberal, masuk ke meja redaksi. Sejumlah fakta dan data dari nara sumber terkait soal dana menjadi jawaban kenapa para pengusung paham liberal acap kali melontarkan pemikiran-pemikiran nyeleneh.

Menurut penerima penghargaan atas prestasi kepemimpinan dan manajemen peningkatan peranan wanita dari menteri negara peranan wanita RI tahun 1999 ini, tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka.

Berdasar pengamatan mantan anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, selama ini di lapangan, dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung pemikiran liberal. “Kalau tidak dari bantuan asing, darimana mereka mencetak buku-buku karyanya,” tandas ibu satu putra yang bernama Syarif Hidayatullah ini.

Lain Prof Huzaemah, lain pula Ketua KISDI Adian Husaini. Cendekiawan Muslim yang baru saja meraih gelar doktor di salah satu universitas di Malaysia ini mengakui, umat Islam kadang terlambat merespon munculnya paham liberal karena kaum Muslimin menganggap pemikiran dan kajian ilmiah tidak lebih penting dari politik, ekonomi dan lainnya.

“Politik, ekonomi dan lainnya penting, tapi ilmu lebih penting sebab ilmu adalah landasan tegaknya iman. Jika ilmu rusak, akan lahir ulama rusak yang lebih bahaya daripada orang kafir yang rusak,” tandasnya.

Soal menjamurnya paham liberal, Adian mempunyai pandangan sendiri. Menurut Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, paham bebas yang cenderung kebablasan ini akan terus muncul sepanjang masa, sebab ada pihak-pihak yang menjadi produsen, distributor, pengecer dan pengasongnya. Khusus di Indonesia, paham liberal ini mulai hidup sejak tiga puluh tahun lalu. Kalau saat ini paham liberal marak, sangat dapat dimaklumi sebab mereka sedang menuai hasilnya. “Para pendukung pemikiran nyeleneh ini bisa saja dari perorangan, lembaga, bahkan negara,” tandas pengamat politik Islam yang menjadi salah seorang garda terdepan dalam membantah pemikiran-pemikiran liberal ini.

Pendapat dua orang cendekiawan Muslim di atas bisa jadi mewakili sebagian pandangan umat Islam Indonesia. Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan.

Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih pada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya.

Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang tidak mau disebutkan namanya. Kepada SABILI, pejabat ini menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah. Dana sebesar itu digunakan untuk melakukan penelitian lapangan ke sejumlah daerah. “Dana itu tidak ada yang gratisan,” tandas sumber SABILI itu.

Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, Ketua Lakpesdam NU ini mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah per tahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.

Sayangnya SABILI tidak memperoleh tanggapan soal ini dari Ulil. Saat SABILI mengonfirmasi soal kebenaran dana di atas, pentolan kelompok JIL ini menolak diwawancara. Bahkan saat wartawan SABILI meminta waktu untuk wawancara, Ulil malah menjawab “Saya tidak bersedia diwawancarai SABILI”. Ketika SABILI balik bertanya kenapa ia tidak bersedia diwawancarai, Ulil balik menjawab serupa, “Begini, saya nggak mau diwawancarai SABILI.” Setelah Ulil menjawab itu, telepon pun terputus. Setelah itu, Ulil tidak pernah menjawab meski sekali pun telepon dan sms dari SABILI.

Seorang profesor hukum yang tidak bersedia namanya disebut memaparkan pengalamannya. Saat diundang anggota DPD memberikan masukan soal hukum Islam di DPR beberapa waktu lalu, ia merasakan adanya kepentingan asing di balik paham liberal. Menurut ceritanya, saat kasus revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mencuat ke permukaan, sejumlah orang dari LSM asing tertentu mendatangi kediamannya. Mereka meminta sang profesor menulis pembaruan KHI dengan imbalan puluhan juta rupiah.

Namun dengan nada halus, sang profesor menolaknya. Tak berhenti sampai di situ. Besoknya, mereka kembali mendatangi sang profesor dan memintanya kembali menulis pembaruan KHI. Tentu saja mereka menyediakan imbalan yang lebih besar lagi. Namun profesor itu kembali menolaknya. Padahal, mereka sudah menyediakan sebuah secarik kertas sebagai kontrak penulisan. “Saya menolaknya karena mencium ada kepentingan tidak baik dalam kontrak tersebut,” katanya.

Kepada SABILI, pria yang pernah menikahkan pasangan beda agama Dedi Corbuzier dan Karlina ini menolak bila disebut sebagai anggota JIL pimpinan Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai SABILI, ia berkali-kali menolak disebut aktivis JIL. “Saya harus tegaskan dulu bahwa saya bukan aktivis JIL, tapi kalau saya diminta mengisi oleh JIL, sesuai latar belakang, saya akan mengisi,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.

Zainun juga menolak dianggap sektarian. Sebagai seorang akademisi, ia mengaku bisa saja berada di mana-mana, baik di DDII, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya. Bahkan jika para aktivis Ahmadiyah atau Syiah mengundangnya, ia bersedia menghadirinya. “Bukan berarti saya masuk kelompok mereka,” katanya.

Untuk menangkal serangan kelompok liberal tersebut, Adian Husaini mengatakan, yang menjadi prioritas utama adalah melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim yang mampu menjawab tantangan pemikiran tersebut, mampu memahami Islam dengan baik dan memahami pemikiran Barat, Kristen, Yahudi dan pemikiran sesat lainnya.

Adian mengutip kisah Sayyidina Umar bin Khaththab ra. Umar menangis bahagia saat seseorang mengritiknya. Adian belum melihat budaya kritik mengritik ini tumbuh di internal umat Islam. Kritik kepada seseorang, menurutnya, masih dinilai sama dengan menjatuhkan. “Ini yang tidak benar. Tradisi kritik ini sulit berkembang jika budaya ilmu tidak berkembang,” tegasnya.

Adian boleh jadi benar. Kehancuran Islam bukan disebabkan kuatnya musuh-musuh Islam, tapi lebih disebabkan lemahnya ketahanan internal umat Islam sendiri. Jika umat Islam kokoh, serangan sedahsyat apapun yang datang dari musuh-musuh Islam, tidak akan mudah menjungkirbalikkan posisi umat. Jadi, sudah semestinya, umat Islam terus membentengi diri dengan akidah dan pemahaman Islam yang benar. (Sabili)

Rivai Hutapea



Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA
Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam

Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Banyak orang dibuat geram sambil mengelus dada oleh pemikiran JIL. Mereka begitu berani menafsirkan ayat al-Qur’an sesuka hati. Salah satu kontroversinya adalah dalam kasus Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).

Salah seorang yang merasa gelisah dengan pemikiran Islam Liberal adalah Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA. Pembantu Dekan I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat ini mengaku sering berhadapan dengan mereka.

Kalau pas berada dalam acara-acara seminar atau diskusi ada orang melontarkan ide-ide nyeleneh itu, ia pun langsung membantah. Menurut ceritanya, dia pernah diundang dalam bedah buku Dr Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, di Pusat Studi Al-Qur’an. Apa yang dikatakan Musdah langsung disanggah dan tak ada satu pun yang dijawab. “Dia ketawa saja. Hanya pertanyaan audiens yang dia jawab.” Pertanyaan Huzaemah oleh Musdah—yang tak lain muridnya semasa kuliah di UIN—hanya dianggap sebagai masukan.

“Bohong kalau mereka diskusi mengutamakan pemikiran intelektual,” tegas Huzaemah. Baginya, apa yang dikerjakan orang-orang itu hanya faktor ekonomi dan cari nama belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan perkembangan pemikiran. Benarkah?

Berikut petikan perbincangan Afriadi dan Eman Mulyatman dari SABILI bersama doktor fiqih perbandingan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang lulus dengan predikat cumlaude ini:

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dipermasalahkan?
Iya, memang. Ketuanya Siti Musdah Mulia. Kita diundang sebagai dewan pakar.

Bagaimana bisa terjadi?
Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Mereka itu kan maqashid syari’ah (tujuan syariah)nya: pluralisme, demokrasi, gender dan HAM. Kalau kita kan maqashidus syaria’ah-nya: hifdz ad-dien, hifdz an-nas, hifdz al-aql, hifdz an-nafs, dan hifdz al-maal (menjaga agama, kemanusiaan, akal, jiwa dan harta benda).

Soal gender?
Saya juga mendukung. Saya dulu Ketua PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah. Persamaan hak itu tidak selalu menguntungkan, bisa merugikan perempuan sendiri. Itu saya tidak sependapat, apalagi sampai bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Bagaimana dengan kaum feminis yang memperjuangan persamaan gender?
Saya termasuk orang yang memperjuangkan hak perempuan yang belum diberikan. Tapi bukan kita mengada-ada. Jangan yang tidak ada dalam ajaran agama atau yang bertentangan dengan ajaran agama, kita perjuangkan. Misalnya seorang istri yang dicerai talak tiga oleh suaminya, dia harus menikah dulu dengan yang lain baru boleh suaminya balik lagi. Lalu, mereka, dengan alasan persamaan hak, mengharuskan laki-laki kawin dulu dengan perempuan lain baru boleh balik sama istrinya. Mereka (JIL-red) tidak sadar, mereka sendiri yang mengharamkan poligami, secara tidak langsung membolehkan poligami. Mereka memikirkan atau tidak, itu malah menambah beban suaminya nanti. Kalau balik sama dia (istri pertama, red) kan tambah lagi istri, tambah lagi anaknya. Mungkin ada anak tiri. Tambah sakit hati lagi. Katanya, mengangkat derajat perempuan?

Tidak selamanya kesetaraan itu menguntungkan wanita?
Iya, bimaa fadhdhalallaahu ba’dhahum ‘alaa ba’dhin (Karena Allah telah memuliakan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) (QS an-Nisaa’: 34). Masing-masing ada perannya. Seperti mencari nafkah. Mereka bilang mencari nafkah itu juga wajib bagi perempuan. Padahal kalau perempuan memberikan nafkah ke keluarga, itu kan hanya sebagai tabarru’ (sumbangan) saja. Jadi kewajiban tetap di pihak laki-laki.

Itu sudah sesat atau bagaimana?
Bisa dikatakan seperti itu.

Lalu Ibu menyusun buku bersama Ibu Prof Zakiah Daradjat?
Ndak dengan Ibu Zakiah, saya sendiri yang menulisnya. Wartawan saja yang bilang buku itu disusun bertiga. Yang benar saya menulisnya sendiri.

Apa latar belakang menulis buku itu?
Ya, dorongan untuk mempertahankan agama. Misalnya perkawinan beda agama boleh, laki-laki kalau cerai dengan istrinya harus ber’iddah. Itu kan bertentangan dengan al-Qur’an. Perempuan juga wajib bayar mahar sesuai dengan budaya setempat, contohnya Sumatera Barat. Padahal Sumatera Barat itu bukan mahar yang dikasih oleh perempuan, tapi itu uang jemputan. Mahar tetap dibayar. Tidak semua orang Minang melaksanakannya, hanya sedikit saja.

Pokoknya kita itu harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah karena Nabi mengatakan taraqtu fi kum amraini lan tadhillu maa intamassaktum bihi ma abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku telah meninggalkan dua hal. Jika kamu berpegang kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul).

Kelemahan JIL apa?
Mereka itu meninggalkan nash dan hanya melihat masalah sosial budaya. Budaya itu kalau sesuai dengan syariat kita pakai. Budaya itu kalau dalam Ushul Fiqih disebut al-‘urf. ‘Urf itu terbagi dua: ‘urf shahih dan ‘urf bathil. ‘Urf shahih itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalau al-’urf bathil adalah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Apakah al-Qur’an dan Sunnah mengikuti budaya atau budaya yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah? Susah kalau kita tidak mengikuti pegangan umat Islam.

Mereka itu mengutamakan budaya dan alergi terhadap syariah?
Kita menghargai orang berijtihad. Silakan saja berijtihad. Tapi, bila kita berijtihad jangan menyalahi aturan-aturan yang telah ada, bahkan yang telah dikenal oleh ulama-ulama Islam sedunia.

Indonesia dikatakan tempat subur bagi perkembangan Islam liberal?
Susahnya, umat Islam sendiri yang melemahkan umat Islam yang lain. Mestinya kita yang mempertahankan ajaran Islam. Ini malah kita sendiri yang mengikuti pemikiran-pemikiran liberal semacam itu.

Apakah ini upaya Barat untuk melemahkan Islam?
Bisa saja.

Sejauh mana pengamatan Ibu bahwa ini adalah trik barat ?
Dugaan kita seperti itu. Barat menuduh orang Islam itu teroris. Padahal tidak ada ajaran Islam yang menghendaki seperti itu. Nabi saja kalau mengirim sahabat untuk peperangan selalu menasihatkan: Jangan kalian memerangi orang tua, perempuan, jangan menebang pohon-pohon.

Bagaimana bentuk dukungan Barat terhadap upaya penyesatan itu?
Iya, contohnya mencetak buku itu, dananya dari Asia Foundation. Selalu mangadakan seminar dan penelitian. Katanya, buku yang mereka buat, Counter Legal Draft (CLD) KHI itu, dananya tujuh miliar dari Asia Foudation.

Bagimana dengan UU kekerasan dalam rumah tangga?
Iya, kecolongan lagi. Sebenarnya dalam perkawinan itu ada huquq az-zaujiyah. Namanya hak suami memberi nafkah, melindungi, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Pemimpin dalam hal ini artinya mengayomi. Dalam al-Qur’an, laki–laki atau suami diserukan wa asyiruhunna bil ma’ruf, pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf, yang patut.

Ribut-ribut soal KHI, Ibu sendiri bagaimana melihatnya?
Kalau dulu, sebelum ada KHI, = sering antara satu pengadilan dengan pengadilan agama yang lain dalam masalah yang sama, = kadang-kadang berbeda putusannya. Setelah ada, ini bisa menjadi pedoman bagi mereka, walaupun masih ada kekurangan-kekurangannya. Pemerintah sudah mengusulkan secara resmi ke DPR untuk menjadikannya sebagai undang-undang hukum terapan peradilan agama. Tahu-tahu nongol CLD-nya Musdah Mulia.

KHI ini lebih dulu dari CLD, sudah diseminarkan berkali-kali. KHI itu resmi dibuat oleh pemerintah, diajukan ke DPR. Kalau yang ini (CLD), Departemen Agama kecolongan, karena pengaruh persamaan gender di belakangnya. Karena mengatasnamakan Depag, orang terkecoh. Dia (Musdah Mulia=red) memang tim persamaan gender. Tapi bukan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk mengkaji masalah wanita. Malah dalam pembahasannya, diundang orang dari agama lain.

Dananya besar ya?
Dari Asia Foundation. Misalnya buku Bu Musdah baru-baru ini diterbitkan, judulnya Muslimah Reformis. Makanya kata Pak Ali Yafie pada waktu bedah buku saya, “Jangan menyangka bahwa dengan terbitnya buku Ibu ini nanti mereka berhenti. Nanti mereka terbit dengan versi lain lagi.”

Betul, seminggu atau dua minggu muncul lagi buku mereka. Bukunya besar dan luks. Sedangkan kita, dengan uang saku sendiri. Buku itu kita keluarkan hanya karena tidak tahan melihat apa yang terjadi, karena tidak tega kalau al-Qur’an dan Hadits diutak-atik.

Apa benar yang dibawa Ulil atau Bu Musdah sesuatu yang baru?
Sesuatu yang baru? Ada juga yang sebelumnya. Misalnya pendapat Abu Zaid yang banyak diangkatnya. Abu Zaid itu kan sekarang ngajar di Yogya. Dulu dia di Mesir, sudah diputuskan di mahkamah Mesir, murtad. Lalu lari ke Belanda. Karena dia orang “pintar”, diangkat jadi dosen di sana. Nggak tahu gimana, dosen dari Belanda dipakai lagi untuk kerja sama dengan UIN Yogya, jadi dosen UIN Yogya.

Ada ancaman mati terhadap Ulil, ada pula Masdar di Mesir yang mau dibunuh di sana?
Kalau itu saya tidak setuju. Tidak boleh main hakim sendiri.
Mereka malah makin berani...
Mudah-mudahan mereka sadar. Nabi saja bahkan dengan macam-macam cobaan dari kaumnya yang waktu itu belum beriman, menyiksa, mengejek. Beliau doakan, “Wahai Tuhan! Berikanlah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengetahui.” Mudah-mudahan nanti akan sadar, insya Allah. Kita doakan saja.

Kenapa di Indonesia pemikiran liberal menjadi subur?
Ada juga yang karena masalah pribadi. Ada juga karena dorongan ekonomi. Dapat uang misalnya. Karena dapat uang seperti tadi, menulis nanti dapat uang.

Ada faktanya?
Kan kenyataan, itu yang dicetak ongkosnya sampai tujuh miliar. Ada satu orang, saya tidak mau menyebutkan namanya, seorang pakar dari bidang KHI yang resmi dipakai, sekarang mendapat tawaran menulis. Kalau dia mau menulis tentang pembaruan kompilasi hukum Islam yang ada, yang dipakai berjalan sekarang, dikasih 40 juta rupiah. Tapi tidak mau. Pakar tersebut berkata, untuk apa saya menjual akidah saya.

Jadi benar bahwa perkembangan Islam Liberal di Indonesia bukan karena perkembangan pemikiran?
Karena ekonomi, juga karena cari nama.

Islam liberal subur di NU?
Tidak juga. Di Muhammadiyah juga ada Pak Zainun (Zainun Kamal, red). Itu kan Muhammadiyah. Kalau dari NU banyak yang ke JIL. Kalau dari Muhammadiyah banyak ke JIM (Jaringan Intelektual Muda, red). Itu kan pemikiran liberal semua. Jadi dari dua organisasi besar ini, ada anak mudanya ikut seperti itu.

Sejauh mana bahayanya pemikiran ini?
Berbahaya, mengancam agama, meresahkan masyarakat. Makanya Menteri Agama waktu peluncuran buku saya mengatakan, “Saya sudah batalkan! Saya sudah batalkan!” Maksudnya CLD-KHI itu sudah dia batalkan.

Bagaimana jika pemikiran semacam ini didiamkan, katakanlah 10 tahun ke depan, apakah akan semakin berkembang?
Walaupun ada pemikiran seperti itu, mayoritas belum setuju dengan pendapat begitu. Sebetulnya yang ada begitu sedikit, hanya beberapa orang. Wartawan juga yang bikin mereka terkenal. Orang-orang kebanyakan malah semua nggak senang, resah.

Kenapa tidak ditindak tegas?

Soalnya yang lainnya nggak kompak. Mengcounter hanya sendiri-sendiri. Coba kalau ramai-ramai.